ASSLAMUALAYKUM WELCOME TO MY BLOG INSYA ALLAH BERMANFAAT
KALAU PENGEN BACA, TERLEBIH DAHULU KLIK DI JDUL BCAAN/LINK POSTINAGAN/DI FULL READ:

Kamis, 05 Mei 2011

GLOBALISASI

Hati-hati dengan Globalisasi Ada tulisan menarik di Harian Suara Pembaruan. Disebutkan dengan panjang lebar bahwa arus deras komunikasi massa yang menghujani Indonesia, ternyata nggak hanya memunculkan fenomena baru dalam kebudayaan negeri ini, atau sekadar perubahan ekonomi politik, tapi juga menandai kelahiran sebuah generasi baru, yang bisa dikatakan tercerabut dari masa lalu. Dimulai sejak Oil Boom pada dekade 70-an, kemajuan sosial ekonomi memang mendatangi negeri ini, ditambah masuknya kebudayaan pop yang notabene didominasi kebudayaan Barat. Kebudayaan pop (pop culture) ditandai dengan industrialisasi barang-barang budaya seperti makanan, pakaian dan kesenian, tapi lebih dari itu, kebudayaan jenis ini membawa masyarakat pada fenomena McWorld. McWorld adalah sebuah dunia yang dicirikan dengan globalisme, informasi, hiburan, dan komersialisme. Maka, McWorld ditandai oleh tiga buah ikon penting; MTV, Macintosh, dan McDonald,. Sebuah paradigma berpikir global McWorld akhirnya membawa manusia Indonesia pada sebuah fenomena global, internasionalisasi budaya dan konsumerisme. Peranan media komunikasi sangat besar karena lewat media inilah gelombang komunikasi dan kapitalisme mutakhir sampai ke Indonesia. Budaya pop adalah budaya yang dibentuk oleh media. Sebagai saluran komunikasi, media sangat berperan efektif sebagai pembentuk semangat konsumerisme masyarakat sekaligus alat dari produsen untuk memanipulasi kesadaran konsumen, sehingga membeli komoditas yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Maka, Mc World pun dibentuk oleh kedua fenomena di atas; perluasan media lewat teknologi informasi, dan kapitalisme mutakhir. Sebuah McWorld adalah sebuah dunia tanpa batas, nasionalisme, agama, dan etnisitas atau kebudayaan. Semua itu lebur dalam sebuah interaksi universal antarbudaya. Globalisasi informasi dan budaya ini, menandai kemunculan postmodernisme alias pemberontakan terhadap modernitas yang mengharuskan keseragaman dalam pola pikir dua rasionalisasi yang berlebihan. Gaungnya bergema hingga saat ini dari munculnya Flower Generation di Amerika yang memulai Woodstock pertama pada tahun 1969, yang memprotes Perang Vietnam dan perlombaan senjata nuklir, hingga demonstrasi mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 dan Woodstock 1999 yang berakhir dengan kekerasan. Generasi yang lahir pada dekade 70-an dan 80-an yang saat ini menjadi remaja, pemuda, siswa sekolah menengah, dan mahasiswa hidup dalam era McWorld. Mereka hidup dalam hujan deras kebudayaan pop, terutama yang hidup di kota-kota besar. Generasi itu hidup dalam multikulturalisme dan pluralisme nilai. Gaya hidup mereka adalah gaya hidup global, hingga kerap kali kehilangan identitas ketika harus merumuskan ke-Indonesia-an. Mereka dibesarkan dalam tingkat kemapanan yang cukup tinggi dan akses yang begitu luas terhadap berbagai bidang. (www.surapembaruan.com, 5 April 2000) Melahirkan budaya pop Ngomong-ngomong soal semen, eh, soal budaya pop, saya kepikiran sama kamu-kamu, para remaja. Kenapa? Karena remajalah yang paling rentan termakan isu instant culture, yang juga biasa disebut budaya pop. Do you know budaya pop? Betul. Kamu pinter banget deh. Yup, budaya pop adalah budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, dan cepat berganti. Nah, teman remaja paling doyan kalo udah njiplak gaya hidup hasil imbas budaya pop. Pokoke, cepet banget nyetelnya euy! Itu sebabnya, kita jadi kepikiran terus sama kamu-kamu. Khawatir kalo kamu terjerumus main ikut-ikutan aja tanpa memandang halal dan haram dalam berbuat. Kritikus Lorraine Gamman dan Margaret Marshment, keduanya penyunting buku "The Female Gaze: Women as Viewers of Popular Culture (1998)", bersepakat bahwa budaya populer adalah sebuah medan pergulatan ketika mengemukakan bahwa tidaklah cukup bagi kita untuk semata-mata menilai budaya populer sebagai alat kapitalisme dan patriarki yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang. Bagi mereka, budaya populer juga tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi dominan. Walah, moga kamu nggak error untuk memahami maksud kritikus ini. ? Celakanya, dalam pertarungan tersebut, siapa pun bisa terlibat dalam lingkarannya. Termasuk tentunya remaja. Perang ideologi nggak bisa dihindarkan lagi sobat, alias kudu pasti terjadi benturan. Lucunya, acapkali kita, kalangan remaja, udah merasa down duluan dari pada harus bertarung melawan budaya tersebut. Hmm.. ini untuk tidak mengatakan kalo remaja biasanya pura-pura tidak tahu apa-apa, dan lebih memilih ‘terbawa’ arus budaya yang lebih kuat. Parahnya lagi, seperti diakui banyak pengamat, bahwa budaya populer yang sekarang lagi ngetren bergerak amat cepat. Saking cepatnya, sampe tanpa sadar kita dipaksa patuh dengan logic of capital, logika proses produksi, yakni hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku. Inilah yang sering dijuluki sebagai instans culture. Kamu bisa lihat gimana sregepnya teman-teman remaja saat gandrung dengan tren yang muncul saat ini. Cepet banget nyetelnya. Udah nggak pernah pake kalkulasi untung-rugi lagi. Apalagi mikir halal-haram, kayaknya blas deh. Pokoknya, kalo itu dianggap baru dan trendi, hajar aja. Nyang penting dapat label anak gaul. Habis perkara. Astaghfirullah… Sobat muda muslim, nggak selamanya yang baru dan trendi itu baik lho buat kamu. Kalo soal ilmu pengetahuan dan teknologi, boleh aja kamu ikutan nyetel. Itu sebabnya, kamu jangan kuper-kuper amat dalam masalah ini. Tapi sayangnya, teman-teman remaja lebih mudah nyetel kalo urusannya dalam gaya hidup. Soalnya, memang mudah ditiru sih. David Beckham, suaminya Victoria Adams, cepat jadi idola. Model rambutnya dicontek abis. Pas doi kepalanya plontos, banyak para akhwat, eh, cewek langsung teriak histeris. Begitu ganti model lagi, cepet-cepet pengagumnya meniru total beliau. Aduh, jadi sesembahan deh. Ckckckck… Genderang perang budaya udah ditabuh saudara-saudara. Ini globalisasi Bung! Semua wajib seragam. Di Amrik heboh Harry Potter, Spiderman, The Lord of The Ring, X-Men United, Matrix Reloaded, sampe Hulk, di sini juga 'wajib' ikutan heboh. Nggak seru dan afdhol kalo cuma diem. Semua serentak ngobrolin hiburan kelas dunia ini. Begitu pun ketika rumah-rumah mode Eropa memamerkan busana oke karya perancang dunia, di sini seperti tersihir; ikutan heboh pake. Sama halnya ketika George W Bush gembar-gembor mengumumkan “Perang Melawan Terorisme”, seluruh negara (termasuk di sini) ikutan heboh ngomongin terorisme (meski banyak juga yang nggak paham). Hasilnya? Ditangkepi deh seluruh kelompok Islam yang udah kadung dituduh jaringan teroris, atau paling nggak dimata-matai atas perintah Amrik. Lihat aja Komnas HAM, getol nyerang pemerintah Indonesia soal kasus Aceh, eh, begitu banyak ulama yang ditangkepi, Komnas HAM menunjukkan sikap sejatinya, mengelurkan jurus ATM alias Aksi Tutup Mulut kalo kasusnya berkaitan dengan Islam. Dasar! Emang sih, nggak seluruhnya globalisasi itu salah. Nggak semuanya dampak globalisasi bikin kita gerah. Ada kok yang baiknya. Contoh: perkembangan teknologi informasi dan sejenisnya. Namun, teknologi memang ibarat pisau bermata dua; bisa baik, bisa juga buruk. Tapi anehnya, mengapa yang buruk van jelek yang cepet menular dan kadernya beranak pinak? Jawabannya sama: ringan dan trendi. Wasyah! Itu pula yang bikin kita ketar-ketir ngeliat tingkah polah remaja sekarang. Bener. Tetap waspada! Perkembangan ini kan bisa baik tapi sekaligus bisa jahat. Maka sikap bijaksana itu wajib kita miliki. Supaya nggak keburu nafsu menghukumi yang halal menjadi haram—atau sebaliknya. Apalagi kalo sampai terjebak menjadi pengikut budaya global yang nggak bener. Itu sebabnya, kita harus bertanggung jawab. Yang benar kita ambil, dan yang salah kita buang. Inilah tantangannya bagi kita. Tentu, tantangan yang harus dihadapi dengan bijaksana dan butuh penyelesaian jitu. Iya nggak? Dan, kayaknya sekarang kita kudu lebih cerdas lagi dalam menyikapinya. Bukan apa-apa, ekspansi bukan global ini makin berbahaya karena ditunjang dengan teknologi canggih. Jaringan internet misalnya, sudah merupakan kebutuhan tersendiri. Bukan fasilitas mewah lagi. Berarti setiap orang hampir bisa dipastikan mampu mengakses dengan mudah. Wah, padahal nggak semua informasi yang ditampilkan jaringan ini mendidik. Jadi, jaringan maya ini ternyata perlu diperhitungkan juga. Why? Ya, itu tadi, karena di jaringan ini akses informasi nyaris tanpa batas dan sulit dibendung. Nggak ada jalan lain kecuali waspada memang. Waspada dalam pengertian tidak mudah tergoda dengan budaya baru yang bukan berasal dari Islam. Kamu harus pilih-pilih dulu. Jangan langsung caplok aja. Pokoknya pandai memilih dan memilah. Dan perlu dingat, patokan yang kamu pakai untuk menilai budaya tersebut adalah ajaran Islam. Kalo menurut Islam haram, maka kamu jangan maksa mengambil atau melakukan sesuatu itu. Dan sebaliknya bila menurut Islam itu boleh atau halal, kamu nggak dilarang untuk mengambil atau mengamalkannya. Well, jadi kamu dituntut untuk bisa bertanggung jawab. Dan itu cuma bisa dilakukan bila kamu udah paham tentang Islam. Maka, kalo belum paham soal Islam, jangan nekat melabrak. Harus tahu diri, berati kamu kudu belajar dulu tentang ajaran dan nilai-nilai Islam. Tapi memang harus diakui juga sih, penjagaan diri itu nggak cukup. Harus didukung oleh pengawasan masyarakat dan kekuasaan sebuah negara. Tujuannya? Supaya lebih joss! Lebih kuat dan oke! Selain kita kudu waspada, kita juga nggak boleh menjadikan musuh-musuh Islam sebagai teladan atau teman kita. Apalagi kalo kita mau aja ngikutin gaya hidup mereka. Hati-hati, jangan sampai deh! Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 118). Waduh, ngeri juga kan? Makanya nggak usahlah kamu bergaya hidup seperti kaum lain. Jangan sampai pengaruh jelek globalisasi menjadikan kamu lepas dari Islam. Karena ketika kamu terpengaruh dan kemudian ikut bergaya hidup seperti musuh-musuh Islam itu, berarti kamu telah menjadi pengikutnya (baca: temannya). Ih, syerem banget! Makanya kamu nggak boleh latah ikut-ikutan budaya yang bukan berasal dari Islam. Nggak bener dan memang nggak baik. Bahkan kewajiban kamu adalah mengamalkan (ajaran) Islam, bukan ajaran kaum atau peradaban lain. Karena tentu saja, dengan adanya globalisasi ini musuh-musuh Islam sengaja membuat jalan agar kaum muslimin—khususnya remaja—untuk mengikuti kehendak mereka. Ini jelas sangat berbahaya. Karena bila kita masuk perangkap mereka, alamat hidup kita ancur-ancuran, bro. Allah Swt. menggambarkan bagaimana kebencian musuh-musuh Islam—yakni kaum Yahudi dan Nasrani—dalam menghancurkan ummat Islam. Firman Allah Swt.: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 120) Dengan demikian, kita wajib waspada, jangan sampai terjerumus mengikuti budaya dan gaya hidup selain Islam. Kita bisa menang kawan. Jadi hati-hati dengan globalisasi. Tetap semangat mengkaji Islam!?

0 komentar:

Posting Komentar