ASSLAMUALAYKUM WELCOME TO MY BLOG INSYA ALLAH BERMANFAAT
KALAU PENGEN BACA, TERLEBIH DAHULU KLIK DI JDUL BCAAN/LINK POSTINAGAN/DI FULL READ:

Jumat, 29 April 2011

SENAM LANTAI

BAB I PENDAHULUAN Masyarakat maju yang kaya dan makmur dengan kenyamana yang didukung dengan mesin atau alat – alat otomatis, telah mengalami derita yang di akibatkan dengan kemajuan tersebut. Banyak ancaman yang dihadapi mereka seperti penyakit yang di akibatkan kurang gerak,sebagai sebagian penyakitnya timbul penyakit egeneratif seperti penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, diabetes melitus dan lainnya. Gejala kemerosotan kebugaran jasmani dikalangan anak – anak dan remaja di seluruh dunia sudah merupakan gejala umum. Penyebab utamanya adalah mereka kurang aktif bergerak karena kurangnya waktu untuk melatih kesehatan jasmani. Anak – anak begitu asik dengan permainan di komputer, disertai pola makan yang tidak sehat, keadaan ini sudah terjadi di Indonesia. Dengan demikian masyarakat Indonesia sangat kagum dengan penampilan seorang penari yang badannya lemah gemulai. Orang itu memiliki fleksibilitas sangat bagus yaitu kemampuan dari sendi dan otot serta tali sendi di sekitarnya untuk bergerak dengan leluasa dan nyaman dengan ruang gerak maksimal yang diharapkan. Fleksibilitas optimal memungkinkan sekelompok atau sendi untuk bergerak dengan efisien. Senam mempunyai begitu banyak pengaruh bagi individu bila datang berolahraga dengan sikap dan respek yang baik. Senam dapat menyenangkan, menggairahkan dan memberi banyak pesona. Banyak keuntungan yang diperoleh dari senam. Konsentrasi, keteguhan hati, dan keyakinan akan menjadi modal besar yang dapat membantu dalam bersenam. Pengaruh latihan senam terhadap fisik menakjubkan. Mempelajari keterampilan dalam senam akan meningkatkan kekuatan yang sangat hebat,kelentukan, koordinasi, sikap dan kesadaran kinnestetik. BAB II A. Sejarah Perkembangan Senam Senam pertama kali diperkenalkan pada zaman Yunani kuno. Senam berasal dari kata Gymnastics, Gymnas berarti telanjang, sebab pada waktu itu orang-orang berlatih tanpa memakai pakaian. Sedangkan Gymnasium adalah suatu tempat yang dipergunakan untuk mengadakan latihan senam. Pada zaman itu Gymnastik dilakukan dalam rangka upacara-upacara kepercayaan yaitu guna menyembah dewa Zeus. Pada awal permulaaan abad ke-20, senam telah menjadi rencana pendidikan di sekolah-sekolah Amerika. Hal ini berkat usaha dari Dr.J.F.Williams, Dr.Dubly sorgen dan Thomas D.Wood. Frederik Jahn adalah bapak Gymnastik, dia memkombinasikan latihan-latihan gimnastik dengan pertunjukan-pertunjukan patriotik. Dia juga menemukan beberapa perelatan senam, diantaranya adalah palang horizontal, palang sejajar, kuda-kuda melintang, dan bak lompat. Senam di Negara Indonesia sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Pada waktu itu namanya “Gymnastiek”, zaman jepang dinamakan “Taiso”. Pemakaian istilah “senam” sendiri kemungkinkan bersamaan dengan pemakaian kata olahraga sebagai pengganti kata sport. B. Pengertian Senam dan Senam Lantai Senam adalah aktivitas fisik yang dilakukan baik sebagai cabang olahraga tersendiri maupun sebagai latihan untuk cabang olahraga lainnya. Berlainan dengan cabang olahraga lain umumnya yang mengukur hasil aktivitasnya pada obyek tertentu, senam mengacu pada bentuk gerak yang dikerjakan dengan kombinasi terpadu dan menjelma dari setiap bagian anggota tubuh dari komponen-komponen kemampuan motorik seperti : kekuatan, kecepatan, keseimbangan, kelentukan, agilitas dan ketepatan. Dengan koordinasi yang sesuai dan tata urutan gerak yang selaras akan terbentuk rangkaian gerak artistik yang menarik. Untuk mengetahui pengertian senam, kita harus mengetahui cirri-ciri senam antara lain: Gerakan-gerakannya selalu dibuat atau diciptakan dengan sengaja Gerakan-gerakannya harus selalu berguna untuk mencapai tujuan tertentu (meningkatkan kelentukan, memperbaiki sikap dan gerak atau keindahan tubuh, menambah ketrampilan, meningkatkan keindahan gerak, meningkatkan kesehatan tubuh) Gerakannya harus selalu tesusun dan sistematis Berdasarkan cirri-ciri diatas, batasan senam adalah latihan tubuh yang dipilih dan diciptakan dengan berencana, disusun secara sistematis dengan tujuan membentuk dan mengembangkan pribadi secara harmonis. Pada tingkat sekolah atau yunior pertandingan dapat dibatasi pada nomor-nomor tertentu, biasanya senam lantai dan kuda-kuda lompat. Pertandingan tingkat Nasional dan Internasional bagi pria terdiri dari 6 (enam) nomor yakni : senam lantai, kuda-kuda lompat, kuda-kuda pelana, palang sejajar, palang tunggal, dan gelang-gelang. Sedang bagi wanita ada 4 (empat) nomor : senam lantai, kuda-kuda lompat, balok keseimbangan, dan palang bertingkat. Penilaian diberikan oleh 4 (empat) orang wasit yang dipimpin oelh seorang wasit kepala. Setiap peserta pertandingan harus melakukan 2 (dua) macam rangkaian pada setiap nomor atau alat, satu rangkaian wajib (yang telah ditentukan terlebih dahulu) dan satu rangkaian pilihan atau bebas masing-masing. Nilai seseorang adalah rata-rata dari dua nilai tengah dengan membuang nilai tertinggi dan nilai terendah dari 4 (empat) orang wasit. Pesenam dengan nilai akumulasi tertinggi menjadi juara ke I dalam kategori serba bisa, tertinggi kedua menjadi juara ke II dan seterusnya. Juara regu ditentukan dengan penjumlahan 5 (lima) nilai terbaik dari 6 (enam) anggota regu dan setiap alat. 6 (enam) peserta terbaik dari semua atlet turut dalam pertandingan final pada tiap-tiap atlet dan nilai akhir yaitu rata-rata dari rangkaian bebas/pilihan dan wajib terdahulu disatukan dengan nilai rangkaian bebas/pilihan dalam final. Nilai ini menentukan urutan pemenang tiap alat. Para wasit memberikan nilai pada waktu bersamaan. Nilai maksimum adalah : 10,000. Hukuman-hukuman diberikan dengan pengurangan nilai pada pelaksanaan yang salah, penguasaan yang kurang baik, dibantu orang lain, jatuh dari alat atau melampaui batas waktu. Selain itu dinilai pula faktor kesulitan gerak dan penampilan estetikanya. Besar pengurangan nilai adalah persepuluhan. Peraturan penilaian direvisi setiap 2 (dua) tahun. Semua gerakan mempunyai faktor kesulitan yaitu : A, B dan yang tersukar adalah C. Rangkaian latihan biasaya terdiri atas sikap-sikap statis yang memerlukan tenaga yang besar disambung dengan gerakan-gerakan berirama y agn sesuai. Sementara sejumlah berntuk gerak memerlukan kekuatan yang lain memerlukan mobilitas atau keterampilan. Senam lantai pada umumnya disebut floor exercise tetapi ada juga yang menamakan tumbling. Senam lantai merupakan salah satu rumpun dari senam. Senam lantai adalah latihan senam yang dilakukan pada matras. Unsur – unsur gerakannya terdiri dari mengguling, melompat, meloncat, berputar di udara, menumpu dengan tangan atau kaki untuk mempertahankan sikap seimbang atau pada saat meloncat ke depan atau ke belakang. Bentuk latihannya merupakan gerak dasar dari senam perkakas (alat). Pada dasarnya, bentuk – bentuk latihan bagi putera dan puteri adalah sama, hanya untuk puteri banyak unsur balet. Jenis senam juga disebut latihan bebas karena pada waktu melakukan gerak pesenam tidak mempergunakan suatu peralatan khusus. Beberapa gerakan dasar senam lantai : 1. Roll depan Yang dimaksud roll depan ialah gerakan badan berguling ke arah depan melalui bagian belakang badan (tengkuk), pinggul, pinggang, dan panggul bagian belakang. Dapat dilakuan dengan cara sebagai berikut : a. sikap permulaan jongkok, pantat agak tinggi,kedua lengan lurus ke depan. b. luruskan tungkai badan condong ke depan, tangan menumpu pada matras selebar bahu, tarik dagu ke dada, tengkuk pada matras. c. saat punggung mengenai matras, bongkokkan tungkai, tarik paha ke dada, tangan menolak, gerakan mengguling di teruskan hingga berakhir pada sikap jongkok, tangan melekat pada tulang kering atau tangan lurus dengan pandangan lurus ke depan. 2. Roll belakang 3. Kayang Kayang ialah suatu bentuk sikap badan terlentang yanng membusur, bertupu pada kedua kaki dan kedua tangan siku-siku dan lutut lurus. Dapat dilakuan dengan cara sebagai berikut: a. Sikap berdiri tegak, kedua kaki agak terbuka, kedua tanngan lurus keatas. b. Jatuhkan badan bagian belakang dengan melengkungkan badan hingga kedua tangan mendarat ke lantai 4. Sikap lilin a. posisi tidur telentang. b. kedua tangan ditekuk dekat sisi telinga, c. angkat ke dua kaki (rapat) lurus ke atas dengan tangan menopang ke pinggang. 5. Meroda Gerakan meroda merupakan gerakan memutar badan dengan sikap menyamping arah gerakan dan tumpuan bert badan ketika berputar menggunakan kedua tangan dan kaki. Cara melakukan : a. Berdiri dengan sikap tegak dan posisi tangan berada di samping b. Kedua tangan perlahan angkat tangan ke atas dengan sikap menyerupai huruf V c. Lalu putar kedua tangan kebelakang dengan di ikuti kaki kanan/kiri melangkah ke depan lalu di ikuti kaki kanan/kiri sebagai hentakannya. d. Lalu letakkan tangan kanan lalu tangan kiri/tangan kiri lalu tangan kanan pada matras. e. Pada saat memutar kedua kaki harus lurus agar mendapat posisi yang maksimal f. Saat sudah memutar posisi badan menghadap kesamping lalu putar kaki supaya bisa menghadap ke depan dan pandangan matapun harus menghadap ke depan 6. Profeller Cara melakukan : a. Kaki kanan lurus ke samping kanan dengan ujung kaki kanan lurus b. Kaki kiri ditekuk seperti posisi jongkok c. Kedua tangan menyentuh matras yang letaknya tepat ditengah-tengah kaki yang ditekuk dan yang diselonjorkan d. Putar kaki kanan ke arah dalam hingga melewati kaki kiri yang ditekuk e. Pada saat kaki kanan melewati kaki kiri maka angkat badan dengan kedua tangan agar kaki kanan dapat berputar kebelakang melewati kaki kiri lalu kemudian kembali ke posisi awal C. Sarana dan Prasarana Senam Lantai Sarana dan prasarana olahraga merupakan modal utama dalam penyelenggaraan kegiatan olahraga, melalui peningkatan ketersediaan fasilitas olahraga yang berkualitas baik dan memadai dalam artian harus di sesuaikan dengan standar keutuhan ruang perorangan. Sarana dan prasarana olahraga adalah sebagai pendukung pelaksanaan suatu kegiatan terutama dalam pengajaran olahraga. Manfaat sarana dan prasarana olahraga adalah dapat meningkatkan kualitas kesehatan dengan pemakaian alat dan tempat olahraga dengan benar. Aktivitas pembelajaran gerak dasar senam lantai dapat dilakukan di dalam ruangan maupun di lapangan terbuka (melihat kondisi sekolah) dengan menggunakan berbagai media seperti bantalan yang disusun dengan rapi, maupun dengan karung goni yang sebelumnya telah di isi dengan kapuk atau kain – kain bekas. D. Modifikasi Alat Olahraga Senam Lantai Senam lantai adalah senam yang dilakukan di matras. Jika sekolah tersebut belum atau tidak mempunyai matras, maka bisa di buat matras buatan yang sederhana dan mudah di dapat. Misalnya dengan menyusun beberapa bantalan dengan rapi atau dengan menggunakan karung goni secukupnya yang telah di isi dengan kapuk atau kain – kain yang sudah tidak terpakai. Dengan begitu siswa akan lebih mudah latihan olahraga senam lantai menggunakan matras buatan. BAB III PENUTUP Senam lantai adalah senam yang dilakukan pada matras. Unsur – unsur gerakannya terdiri dari mengguling, melompat, meloncat, berputar di udara, menumpu dengan tangan atau kaki untuk mempertahankan sikap seimbang atau pada saat meloncat kedepan atau ke belakang. Beberapa gerakan dasar senam lantai diantaranya : 1. Roll depan 2. Roll belakang 3. Kayang 4. Sikap lilin 5. Meroda 6. profeller Modifikasi alat olahraga senam lantai yang menggunakan matras dapat di ganti dengan bantalan – bantalan atau karung goni yang berisi kapuk atau kain – kain yang tidak terpakai. DAFTAR PUSTAKA Rohani, batdri.2004. Harapan Pasti Siswa Berprestasi :CV Hayati Kosasi, Engkos. 1983. Olahraga Teknik dan Program Latihan : CV Akademika Pressindo.
»»  FULL READ....

ATLETIK

PENDAHULUAN Bagian pendidikan jasmani adalah bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan.Pendidikan sebagai proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup.Mempunyai peranan yang sangat penting yaitu meberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung ke dalam aneka pengalaman belajar melalui aktifitas jasmani yang direncanakan secara sistematik. Jadi pendidikan jasmani merupakan media untuk mendorong pertumbuhan fisik,fisikis,keterampilan motorik,pengetahuan dan penilaian penghayatan nilai-nilai serta pembiasan pola hidup sehat untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan fisik dan fisikis yang seimbang.Yang membedakan antara pendidikan jasmani dengan yang lain adalah alat yang digunakan yaitu gerak insani atau manusia yang bergerak secara sadar. Gerak itu dirancang secara sadar oleh guru yang diberikan dalam situasi yang tepat,agar dapat merangsang pertumbuhan dan peerkembangan siswa secara optimal.Agar programpendidikan dapat dilaksanakan dengan baik,maka perlu dipersiapkan guru yang berwenang dan memiliki kompetensi sebagai guru pendidikan jasmani. Seorang guru pendidikan jasmani harus memiliki keterampilan dan kemampuan tersendiri untuk dapat menyusun dan menerapkan metode,model serta modifi pembelajaran.ketidak tahuan dan keterbatasan pengetahuan akan perlunya metode model pembelajaran serta kemampuan mencipta dan modifikasi pembelajaran,keterbatasan sarana dan prasarana pembelajaran dan keterbatasan dana yang tersedia,harus sudah mulai di antisipasi sejak dini dengan membekali mahasiswa khususnya mahasiswa pendiddikan olahraga dan kesehatan dengan pengetahuan dan pengalaman sebagai contoh. Sebagaimana pembahasan pada makalah ini adalah bagaimana memodifikasikan gerak dasar melompat menjadi lebih mudah dan menyenangkan, meskipun kekurangan sarana dan prasarana. BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Perkembangan Atletik Pertengahan abad ke-19, Inggris telah mengembangkan olahraga atletik ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, untuk pertama kali diperlombakan cabang atletik pada tahun 1876, itupun terbatas antar perguruan tinggi. Munculnya Athletic Club tahun 1870 di New York yang menandai perkembangan atletik sangat menggembirakan. Klub ini yang pertama kali mengadakan lomba atletik. Bangsa Indonesia mengenal cabang olahraga atletik sejak zaman pernjajahan Belanda, yaitu tahun 1930. Saat itu para penjajah membentuk organisasi atletik yang diberi nama NIAU (Netherland Indische Athletic Unie) yaitu sebuah organisasi yang menyelenggarakan perlombaan atletik kemudia setelah itu bermunculan klub-klub atletik di berbagai daerah seperti Medan, Solo, Surabaya, Bandung dsb. Setelah itu, berkat kerjasama pakar atletik, Indonesia berhasil membentuk organisasi atletik nasional yang diberi nama PASI (Persatuan Stletik Seluruh Indonesia) tepatnya pada tanggan 03 September 1930 di Semarang. Atletik pada jaman purba sebenarnya mempunyai gerakan dasar seperti lompat dan lempar yang telah dikenal oleh bangsa-bangsa primitif pada jaman pra sejarah. Bahkan dapat dikatakan, sejak adanya manusia, gerakan-gerakan itu telah dikenal. Jika kita melakukan atletik dengan tujuan mencapai prestasi pada jaman modern ini, maka lain halnya dengan bangsa primitif pada jaman prasejarah. Mereka melakukan gerakan-gerakan jalan, lari, lompat, dan lempar semata-mata untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya: • Mencari makan, • Mempertahankan diri dari serangan-serangan biatang buas, • Mengamankan diri terhadap keganasan alam (banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan lain-lain. Meskipun gerakan-gerakan dasar ini telah dikenal sejak adanya manusia, tetapi perlombaan atletik yang telah dilaksanakan dalam catatan sejarah, baru terjadi pada jaman purba, sekitar 1000 tahun sebelum masehi. B. Pengertian atletik Kata atletik berasal dari bahawa Yunani yaitu Athlon atau Athlum artinya pertandingan, perlombaan, pergulatan atau perjuangan. Istilah athletic dalam bahasa Inggris dan athletic dalam bahasa Jerman mempunyai pengertian yang luas meliputi berbagai cabang olahraga yang bersifat perlombaan atau pertandingan. Atletik adalah olahraga yang tumbuhdan berkembang bersamaan dengan kegiatan alami manusia. C. Pengertian Lompat Lompat adalah mendorong tubuh dengan daya tolakan dari kaki menggunakan satu atau dua kaki. Melompat dan berlari hampir sama penjelasannya, walau dalam praktek terlihat jelas perbedaannya, perbedaan antara melompat dan berlari adalah: 1. Berlari, daya tolakan sebagian besar mengarah kedepan dan jeda layang diudara tidak terlalu lama juga tidak terlalu tinggi. 2. Melompat, daya tolakan dapat kedepan, atas, belakang. Dan jeda layang di udara lebih lama juga lebih tinggi. Melompat biasanya terdapat proses menekukkan sendi daerah engkel dan lutut yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan berlari. D. Modifikasi alat dan gerak dasar melompat Beberapa komponen yang dapat dimodifikasi sebagai pendekatan dalam pembelajaran pendidikan jasmani diantaranya adalah: 1. Ukuran berat atau bentuk peralatan yang digunakan. 2. Lapangan permainan 3. Waktu bermain atau lamanya permaianan 4. Peraturan permainans 5. Jumlah pemain (Aussie:1996). Sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Sarana dan prasarana yang memenuhi syarat untuk digunakan oleh semua siswa namun harus pula memperhatikan usia dan karakter siswa yang bersangkutan mulai dari siswa sekolah menengah dan sebagainya. Modifikasi sarana dan prasarana yang sudah ada atau menciptakan sesuatu yang baru merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan mahasiswa sebagai calon guru sebagai upaya untuk menyesuaikan proses pembelajaran dengan karakteristik dan perkembangan siswa. Aktivitas pembelajaran gerak dasar melompat atau meloncat dapat dilakukan di dalam ruangan maupun di lapangan terbuka dengan menggunakan berbagai media yang telah di modifikasi,mulai dari kertas bekas,sampai atau ban bekas,tali hingga siswa itu sendiri dapat berperan sebagai media pembelajaran.Pembelajaran dengan modifikasi pengembangan media pengajaran yang disajikan dalam bentuk permainan akan lebih menarik minat siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani. Jika ditempat mengajar tersebut tidak tersedia lapangan karena sekolah berada dikawasan perairan sehingga pembelajaran tidak bisa dilaksanakan dilapangan, untuk itu dilaksanakan didalam kelas. Kita bisa menggunakan siswa itu sendiri sebagai media pembelajaran, caranya adalah: 1. Siswa dibuat dua kelompok jika memungkinkan tetapi tidak memungkinkan bisa lebih. 2. Satu kelompok yang kalah membikin lingkaran masing-masing dengan jarak satu meter, dengan posisi badan merunduk. 3. Sedangkan kelompok yang menang melompati badan temannya yang merunduk dan ini dilakukan secara bergantian, jika salah satu dari kelompok itu tidak bisa melompat atau menyentuh badan temannya. Kesesuaian dalam memilih model pembelajaran sangat penting karena pembelajaran pendidikan jasmani itu sendiri merupakan kegiatan yang mempunyai pengaruh nyata pada anak didik. Sebagai contoh adalah metode pembelajaran untuk tingkat SD yang melibatkan rentang usia dalam pendidikan ,yaitu realisme intelektul dan realisme visual yang selanjutnya akan mendominasi tingkat perkembangan daya cipta anak. Dengan demikian.metode yang digunakan harus mengacu pada karakteristik perkembangan tersebut, pada masa realisme intelektual anak melakukan gerak berdasarkan apa yang mereka lihat. Oleh karena itu, kebebasan berekspresi merupakan faktor yang memberikan dukungan bagi pengembangan kualitas anak.kebiasan memeksakan gerakan dalam pendidikan jasmani patut di hindari karena akan mematikan kreativitas anak sebab bagaimanapun persepsi anak terhadap suatu objek sangat berbeda dengan persepsi orang dewasa. BAB III PENUTUP Bangsa Indonesia mengenal cabang olahraga atletik sejak zaman pernjajahan Belanda, yaitu tahun 1930. Saat itu para penjajah membentuk organisasi atletik yang diberi nama NIAU (Netherland Indische Athletic Unie) yaitu sebuah organisasi yang menyelenggarakan perlombaan atletik kemudia setelah itu bermunculan klub-klub atletik di berbagai daerah seperti Medan, Solo, Surabaya, Bandung dan sebagainya. Setelah itu, berkat kerjasama pakar atletik, Indonesia berhasil membentuk organisasi atletik nasional yang diberi nama PASI (Persatuan Stletik Seluruh Indonesia) tepatnya pada tanggan 03 September 1930 di Semarang. Kata atletik berasal dari bahawa Yunani yaitu Athlon atau Athlum artinya pertandingan, perlombaan, pergulatan atau perjuangan. Istilah athletic dalam bahasa Inggris dan athletic dalam bahasa Jerman mempunyai pengertian yang luas meliputi berbagai cabang olahraga yang bersifat perlombaan atau pertandingan. Atletik adalah olahraga yang tumbuhdan berkembang bersamaan dengan kegiatan alami manusia Lompat adalah mendorong tubuh dengan daya tolakan dari kaki menggunakan satu atau dua kaki. Melompat dan berlari hampir sama penjelasannya, walau dalam praktek terlihat jelas perbedaannya, perbedaan antara melompat dan berlari adalah: 1. Berlari, daya tolakan sebagian besar mengarah kedepan dan jeda layang diudara tidak terlalu lama juga tidak terlalu tinggi. 2. Melompat, daya tolakan dapat kedepan, atas, belakang. Dan jeda layang di udara lebih lama juga lebih tinggi. Beberapa komponen yang dapat dimodifikasi sebagai pendekatan dalam pembelajaran pendidikan jasmani diantaranya adalah: 1. Ukuran berat atau bentuk peralatan yang digunakan. 2. Lapangan permainan 3. Waktu bermain atau lamanya permaianan 4. Peraturan permainan 5. Jumlah pemain (Aussie:1996). DAFTAR PUSTAKA Aussie,1966.modfied sport,aquality junior sport approan rch.Madonen:ACT.Australian sport commision. Diknas.2003.Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta: Departement Pendidikan Nasional. Depdiknas 2004.Pola Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tenaga Kependidikan Program Studi Pendidikan Jasmani Jenjang SI.Jakarta:Dirjen Dikti,Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
»»  FULL READ....

PSIKOLOGI ANAK

1. Manfaat bagi guru ketika mempelajari psikologi anak:  Guru akan lebih mudah mengenali karakteristik anak.  Lebih mudah memahami bakat serta kemampuan anak dalam aktifitasnya disekolah.  Akan lebih mengetahui seberapa besar kemampuan yang dimiliki anak dalam menerima pembelajaran.  Dari latihan serta bimbingan, guru dapat melihat sejauh mana perilaku yang berubah pada anak.  Hurlock (1980:5-6) menyebutkan: membantu mengetahui apa yang di harapkan dari anak dan kapan yang di harapkan itu muncul, sebab jika terlalu banyak yang di harapkan pada anak usia tertentu, anak mungkin akan mengembangkan perasaan tidak mampu bila ia tidak mencapai standar yang ditetapkan orang tua atau guru. Sebaliknya, jika terlalu sedikit yang di harapkan dari mereka akan kehilangan rangsangan untuk lebih mengembangkan kemampuannya. Di samping itu juga akan merasa tidak senang terhadap orang yang menilai rendah kemammpuan mereka.  Dengan mengetahui apa yang di harapkan dari anak , memungkinkan untuk menyusun pedoman dalam bentuk skala tinggi-berat, usia-berat, skala usia-mental, dan skala perkembangan social atau emosional.  Pengetahuan tentang perkembangan memungkinkan guru memberikan bimbingan belajar yang tepat pada anak. Misalnya bayi yang siap untuk belajar berjalan, dapat diberikan kesempatan untuk tetap berusaha hingga kepandaian berjalan dapat dikuasai. Tidak adanya kesempatan dan dorongan, akan menghambat perkembangan yang normal.  Dengan mengetahui pola normal perkembangan, memungkinkan para guru untuk sebelumnya mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan terjadi pada tubuh, perhatian dan perilaku. 2. Hukum dan teori perkembangan anak dari teori (Miller,1993:56)  Hukum bertahan dan berkembang sendiri a) Dorongan bertahan, yang bertujuan untuk memelihara/mempertahankan diri agar tetap survival. b) Dorongan untuk berkembang sendiri, yang bertujuan untuk mencari dan mencari; mencari kepandaian, pengalaman atau pengetahuan baru, yang terlihat dalam tingkah laku konservasi dan bermain.  Hukum tempo perkembangan Berlangsungnya perkembangan pada anak yang satu tidaklah tentu sama dengan anak yang lain. Ada anak yang perkembangannya secara cepat (cepat dapat merangkak, cepat belajar berjalan, cepat berbicara, dan lain-lain), sementara ada pula anak yang Nampak selalu lambat dalam mencapai kemampuan-kemampuan tersebut.  Hukum irama perkembangan Disamping perkembangan itu mempunyai temponya masing-masing, ia juga mempunyai irama tertentu. Berlangsungnya perkembangan fungsi-fungsi pada anak tidaklah selalu berjalan lurus, tetapi berliku-liku, bisa melompat-melompat, dan penuh kegoyangan. Irama perkembangan itu bukan saja berbeda dari anak yang satu dengan anak lainnya, tetapi juga berbeda atau terjadi antara fungsi satu dan fungsi lain pada diri seorang anak.  Hukum masa peka Yang dimaksud dengan masa peka ialah suatu masa dimana sesuatu fungsi berada pada perkembangan yang baik atau pesat, jika disbanding dengan masa-masa lainnya. Setiap fungsi hanya mengalami sekali saja datangnya masa peka. Oleh karena itu harus dilayani dan diberi kesempatan untuk berkembang pada masa ini dengan sebaik-baiknya.  Teori rekapitulasi Teori rekapitulasi ini menunjukkan akan persamaan yang terlihat pada tingkah laku anak dengan kebiasaan-kebiasaan orang-orang primitive. Teori ini diperkuatdengan menunjuk beberapa contoh seperti: a. bangsa-bangsa yang masih sederhana kebudayaannya (primitive) terdapat pikiran-pikiran yang animistis, seperti: takut akan hantu, takut akan kekuatan-kekuatan gaib, benda-benda di anggap mempunyai kekuatan roh, dan sebagainya, keadaan seperti ini juga terdapat pada diri anak-anak. b. anak-anak mempunyai kesamaan dengan bangsa-bengsa primitive dalam hal kegemaran, seperti lagu-lagu yang gaduh/ribut, warna-warna yang tajam atau menyolok, gemar berburu dan lain-lain.  Teori masa menentang Sebagaimana dikatakan terdahulu bahwa jalannya perkembangan anak itu tidaklah selalu berjalan lurus, tenang dan teratur, tetapi pada masa-masa tertentu terjadi letupan atau kegoncangan yang membawa perubahan radikal dalam diri anak. Yang demikian itu misalnya dijumpai pada usia kira-kira 3.0-5.0 tahun, dan kedua terjadi kira-kira usia 14-17. Pada masa tersebut anak-anak sering memperlihatkan kenakalan-kenakalan, sehingga diberi nama “anak degil” dan sebagainya.  Teori penjelajahan dan penemuan M.J. Langeveld menerangkan bahwa perkembangan itu sebagai suatu proses penjelajahan dan penemuan. Anak manusia lahir dan memasuki dunia ini sebagai warna baru, yang masih belum mengenal apapun juga. Maka dengan keadaan sebelumnya, dia perlu berkembang dengan mengenal dan mempelajari sesuatu yang telah ada disekitarnya pada waktu kehadirannya itu. Oleh karena itu dia menjelajahi dunia ini, dan dalam penjelajahannya itu ia menemukan bermacam-macam nilai kemanusiaan. Dengan menemukan berbagai hal dan nilai-nilai itu berarti dia pun mengalami perkembangan.  Hukum taqdir Setiap orang muslim tentu mempercayayi diatas segalanya ini ada yang mengaturnya, yaitu Allah swt. Ia yang menghidupkan kehidupan pada manusia, dan ia pula lah yang memberikan kekuatan kepada setiap manusia untuk bisa berkembang sebagaimana adanya. Ada anak yang diberi batas kemampuan yang tinggi, dan ada apula yang diberi sedikit. Ada yang diberi usia panjang dan ada pula yang pendek sehingga batas-batas perkembangannya tidak sampai pada masa dewasa, dan sebagainya. Dalam hal ini , tidaklah mengherankan apabila ada dua orang anak yang terlahir dari orang tua yang sama dari lingkungan hidup yang sama, tetapi berbeda perkembangan atau pola tingkah laku atau kualitasnya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Para ahli (ahli jiwa, ahli pendidikan, ahli sosiologi, ahli kriminologi, dan lain-lain) banyak mempersoalkan mengenai hal-hal atau faktor-faktor yang memungkinkan atau mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam hal ini, pendapat mereka tersebut dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu: 1. Golongan nativisme berpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditenttukan oleh factor-faktor yang dibawa sejak lahir. Mereka mengemukakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dibekali (membawa) bakat-bakat, baik yang berasal dari orang tuanya, nenek moyang atau jenisnya. Apabila pembawaannya itu baik maka akan baik pula anak itu kelak, demikian juga sebaliknya. Golongan empirisme merupakan kebalikan dari pendapat nativisme di atas. Asumsi psikologis yang mendasari aliran ini adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan apa pun. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki. Golongan konvergensi muncul karena melihat kedua pendapat (Nativisme dan Empirisme) di atas yang saling bertentangan dan keduanya berada pada garis yang ekstrim, dan banyak mempunyai kelemahan-kelemahan jika dihadapkan dengan realitas yang ada terlebih lagi pada abad modern. Tokoh konvergensi ini adalah William Stern,dan disempurnakan oleh M.J Langeveld dengan menyebutkan empat sifat pokok manusia yaitu: “ azas biologis, azas kebutuhan pertolongan, azas keamanan dan azas eksplorasi”. (Langeveld,1982).
»»  FULL READ....

SEJARAH PENDIDIKAN

SEJARAH PENDIDIKAN DAN RUANG LINGKUPNYA A. Pengertian Sejarah dan Sejarah Pendidikan Secara etimologis kata “sejarah’ dalam bahasa Arab disebut “tarikh, sirah atau ilm tarikh”, yang berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ilmu tarikh berarti ilmu yang mengandung atau membahas penyebutan peristiwa atau kejadian, masa atau terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut (Ma’luf, 1968 : 8). Sedang dalam Bahasa Inggris sejarah disebut “history” yang berarti uraian secara tertib tentang kejadian-kejadian masa lampau (orderly description of past event). Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial maupun ekonomi pada suatu negara atau bangsa, benua atau dunia (Hornby, 1983 : 405). Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah berarti silsilah, asal usul (keturunan), kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, sedangkan ilmu sejarah adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau (Depdikbud RI, 1988 : 794). Sedangkan secara terminologis, sejarah sering diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu dan masyarakat, sebagaimana terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia (Wahab, 1984 : 82). Sejarah adalah catatan peristiwa – peristiwa yang terjadi pada masa lampau (events in the past). Dalam pengertian yang lebih seksama sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia. Namun demikian, kajian sejarah masih terlalu luas lingkupnya sehingga menuntut pembatasan lagi. Oleh karena itu sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu. Menurut Sayyid Quthub (1984 : 18) sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat. Sejarah mencakup perjalanan hidup manusia dalam mengisi perkembangan dunia dari masa ke masa. Setiap sejarah mempunyai arti dan bernilai, sehingga manusia dapat membuat sejarah sendiri dan sejarah pun membentuk manusia. Menggunakan sejarah sebagai bahan hidup akan menimbulkan bermacam analisa dalam suasana budaya sejarah tersebut. Sejarah itu kembali berulang membawa peristiwa lama dan sama. Sejarah mempunyai arti dan memberi arti di mana manusia itu bagaikan dunia yang berputar di sekeliling dirinya sendiri. Sejarah ditulis dijadikan sebagai gambaran atau sebagai guru yang memberikan penuntun. Adakalanya sejarah merupakan laporan, teguran, yang lembut dank eras bagi ummat manusia yang membacanya, jadi sesuatu yang mengecewakan atau merugikan agar tidak terulang lagi. Oleh karenanya hendaknya diinterpretasikan sejarah tersebut ke dalam zaman sekarang apakah sesuai atau tidak sebagai bahan pertimbangan untuk berpegang pada sejarah. B. Objek dan Metode Sejarah Pendidikan Sejarah Pendidikan mempunyai objek yakni mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan baik formal, informal, maupun nonformal. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, objek Sejarah Pendidikan pada umumnya tidak terlalu jauh berbeda dengan objek sejarah pendidikan sepeti sifat yang dimilikinya (Hasbullah, 1995 : 9). Oleh sebab itu fungsi dari pendidikan adalah sebagai objek dan subjek. Maksudnya sebagai objek adalah aktivitas dari pendidikan itu sendiri menjadi bahan telahaan, sedang sebagai subjek adalah keberhasilan atau tujuan yang akan dicapai oleh pendidikan tersebut. Sejarah mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia. Dalam rangka penggalian maupun penulisan Sejarah Pendidikan ada beberapa macam metode yang dapat digunakan. Dalam penggalian sejarah pada umumnya menggunakan metode lisan, observasi, dan documenter. 1. Metode Lisan Dengan metode ini pelacakan suatu objek sejarah dengan menggunakan interview. Metode interview atau wawancara disebut juga metode kuesioner lisan karena terjadilah suatu dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewee). 2. Metode observasi Dalam hal ini objek sejarah diamati secara langsung. Sebelum penelitian dimulai atau pertama kali terjun ke lapangan maka metode observasi sangat penting untuk digunakan dalam sebuah penelitian. Metode observasi merupakan metode pengumpulan data yakni penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indera terhadap kejadian yang langsung bias ditangkap. Jadi metode observasi adalah metode penelitian dengan pengalaman yang dicatat dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. 3. Metode documenter Metode ini berusaha mempelajari secara cermat dan mendalam segala catatan atau dokumen tertulis. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang dipakai untuk mengetahui data yang dapat dilihat secara langsung.l sebagai laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri dari penjelasan dan pemikiran terhadap peristiwa dan sengaja menyimpan keterangan-keterangan tertentu atau catatan-catatan. Metode ini sangat efektif dan efisien dalam penggunaan waktu dan tenaga karena cukup dengan melihat catatan yang telah ada. Khusus untuk penulisan Sejarah Pendidikan Islam, metode-metode lain yang dapat digunakan diantaranya adalah metode deskriptif, metode komparatif, dan metode analisis sintetis. 4. Metode deskriptif Dengan metode ini ditunjukkan untuk menggambarkan adanya pendidikan Islami tersebut, maksudnya ajaran Islam sebagai agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad yang berhubungan dengan pendidikan diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk memahami makna yang terkandung dalam sejarah tersebut. 5. Metode komperatif Metode ini merupakan metode yang berusaha membandingkan sebuah perkembangan pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga islam lainnya. Melalui metode inidimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam tersebut dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu permasalahan tertentu, sehingga demikian diketahui pula adanya garis tertentu yang menghubungkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dibandingkan. 6. Metode analisis sintetis Metode ini dilakukan dengan melihat sosok pendidikan Islam secara lebih kritis, ada analisis dan bahasan yang luas serta ada kesimpulan spesifik. Dengan begitu akan tampak adanya kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam. Hal itu akan lebih jelas dengan adanya pendekatan sintetis yang dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang diambil guna memperoleh satu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian tujuan serta manfaat penulisan Sejarah Pendidikan Islam. C. Hubungan Sejarah Pendidikan dengan Ilmu-ilmu Lain Sejarah Pendidikan bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, sejarah pendidikan merupakan uraian yang sistematis daripada segala sesuatu yang telah dipikirkan dan dikerjakan dalam lapangan pendidikan pada waktu yang telah lampau. Sejarah pendidikan menguraikan perkembangan pendidikan dari dahulu hingga sekarang (Djumhur, 1979 : 1). Oleh sebab itu, Sejarah pendidikan erat kaitannya dengan ilmu-ilmu lain, diantaranya : 1. Sosiologi Dapat kita saksikan bahwa interaksi yang terjadi, baik antara individu maupun antar golongan, dimana dalam hal ini menimbulkan suatu dinamika. Dinamika dan perubahan tersebut bermuara pada terjadinya mobilitas social, yang kesemuanya berpengaruh pada suatu system pendidikan serta berbagai kebijakan pendidikan yang dijalankan pada suatu masa ; Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandangan, metode, dan susunan pengetahuan. Pada dasarnya sosiologi dapat dibedakan kepada dua, pertama sosiologi umum yaitu sosiologi yang tugasnya menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum, kedua sosiologi khusus yaitu pengkhususan dari sosiologi umum yang tugasnya menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio-kultural secara mendalam termasuk dalam hal ini sosiologi pendidikan (Vembriarto, 1990 : 4). Dengan demikian sosiologi pendidikan merupakan sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. 2. Ilmu Sejarah Karena ia membahas tentang perkembangan peristiwa-peristiwa atau kewajiban-kewajiban penting di masa lampau, dan juga dibahas segala ihwal “orang-orang besar” dalam struktur kekuasaan dan politik, karena umumnya orang-orang besar cukup dominan pengaruhnya dalam menentukan system, materi, dan tujuan pendidikan yang berlaku pada masa itu. Dengan mempelajari Ilmu Sejarah kita dapat mengambil hikmah dari sebuah sejarah atau kejadian masa lalu jika ada nilai dan sisi positifnya untuk dikembangkan dalam kemodernan pendidikan, tetapi sebaliknya hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dijadikan sebuah pengetahuan belaka. 3. Sejarah kebudayaan Sejarah pendidikan merupakan bagian dari sejarah kebudayaan ummat manusia, karena mendidik itu berarti pula suatu usaha untuk menyerahkan atau mewariskan kebudayaan. Dalam konteks ini pendidikan berarti pemindahan isi kebudayaan untuk menyempurnakan segala kecakapan anak didik guna menghadapi persoalan-persoalan dan harapan-harapan kebudayaannya. Dalam konteks ini tentu saja tidak semua isi kebudayaan akan diwariskan kepada generasi mendatang, yang diserahkan hanyalah isi-isi kebudayaan yang sesuai dengan keadaan zaman dan tempat serta yang memenuhi kebutuhan manusia pada zamannya. D. Urgensi Mempelajari Sejarah Pendidikan Sejarah yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu, hendaknya jangan sampai diremehkan dan dibiarkan lewat seiring dengan berlalunya waktu, sebab bagaimanapun sangatlah besar makna sejarah bagi kehidupan manusia. “Belajarlah dari sejarah”, adalah kata-kata yang sering kita dengar dan mempunyai makna sangat berarti. Sejarah mengandung kegunaan dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, sebab sejarah mengandung dan menyimpan kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan manusia. Pada umumnya Sejarah Pendidikan bernilai bagi perkembangan kebudayaan, karenanya dengan mempelajari Sejarah Pendidikan berarti juga mempelajari kebudayaan. Akan tetapi bagi kaum pendidik, Sejarah Pendidikan mempunyai nilai khusus, karena : 1. Dengan mempelajari Sejarah Pendidikan kita memperoleh pengertian tentang fungsi pendidikan dalam keseluruhan kebudayaan ; 2. Sejarah Pendidikan mengajar kita untuk membedakan masa yang bernilai tinggi dengan yg tdk, sehingga kita terhindar dari tindakan2 yang salah dan sesat dalam melaksanakan usaha2 pendidikan ; 3. Sejarah Pendidikan memberi kita pegangan, sehingga tidak akan terjadi, bahwa kita akan selalu menganggap rendah hal2 yg sdh lama dan tinggi hal2 yg modern ; 4. Dengan mempelajari Sejarah Pendidikan kita akan sadar, bahwa pendidikan itu hendaknya disesuaikan atau diselaraskan dengan perubahan-perubahan dalam keadaan, ilmu pengetahuan dan teknik. 5. Sejarah Pendidikan menginsyafkan kita, bahwa pendidikan dan tugas pendidik sangat penting artinya. 6. Dengan mempelajari Sejarah Pendidikan kita akan memperoleh contoh-contoh pendidikan yang baik. Dalam pada itu perlu kita perhatikan tiga hal : a. Sejarah Pendidikan memberi pelajaran kepada kita, bahwa sejak dahulu kala banyak dalil-dalil pendidikan dikemukakan orang, yang kemudian dilupakan lagi. Tetapi juga kita sadari, bahwa ada kita jumpai kebenaran-kebenaran yang berlaku sepanjang masa dan yang besar sekali nilainya bagi perkembangan kebudayaan. Menyelidiki dan mengakui adanya kebenaran-kebenaran itu merupakan hasil yang sangat penting. b. Hasil kedua adalah timbulnya pendapat, bahwa teori-teori pendidikan tidak dapat kita rumuskan dalam suatu rumus yang nilainya mutlak: berlaku untuk setiap waktu dan untuk tiap-tiap bangsa. Pendidikan itu berhubungan rapat sekali dengan pendirian-pendirian tentang filsafah, kepercayaan, pendirian politik, pendirian hidup yang selalu berubah. Pendidikan itu dipenuhi aliran-aliran maknawiah dalam suatu waktu tertentu. c. Akhirnya kita lihat dalam Sejarah Pendidikan itu suatu garis yang menuju ke arah perkembangan, ke arah perbaikan dalam sistim pendidikan.
»»  FULL READ....

Minggu, 17 April 2011

Perubahan Sosial & Kebudayaan

A. Definisi Perubahan Sosial Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Supaya tidak timbul kekaburan, pembicaraan akan dibatasi lebih dahulu pada perubahan-perubahan sosial. Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai ,sikap-sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Banyak para sosiolog dan ahli-ahli lainnya yang mengemukakan tentang teori-teori perubahan social dan kebudayaan. Perbedaan-perbedaan cara pemahaman konsep perubahan social di atas sudah tentu akan berpengaruh pada kajian-kajian substansi perubahan social, terutama yang bersangkut paut dengan perbedaan dengan masalah-masalah berikut: (1) tingkat perubahan (makro-mikro); (2) kesinambungan (dan arah gerak perubahan dari mikro ke makro dan sebaliknya). B. Teori-teori perubahan social  Teori evolusioner social: masyarakat sebagai perkembangan dari bentuk yang sederhana menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Mereka percaya bahwa masyarakat-masyarakat yang berada pada tahap-tahap pembangunan yang lebih maju akan lebih progresif daripada masyarakat-masyarakat lainnya.  Teori siklus: (cyclical theories) teori ini berpendapat masyarakat itu berputar melewati tahap-tahap yang berbeda-beda, akan tetapi taha-tahap ini lebih bersifat berulang daripada bergerak seperti yang di utarakan oleh teori evolusioner.  Teori keseimbangan: menurut teori ini masyarakat terdiri dari sejumlah bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain, dimana masing-masing bagian-bagian ini membantu keefektifan masyarakat. Sehingga jika terjadi perubahan-perubahan social yang yang mengganggu salah satu dari bagian-bagian tersebut yang kemudian menggoyahkan masyarakat, maka akan ada perubahan-perubahan social tambahan yang akan terjadi dalam bidang-bidang lain masyarakat. Hal ini akan mengembalikan masyarakat ke dalam kedudukan yang harmonis dan timbullah keseimbangan.  Teori konflik: para sosiolog yang menganut teori konflik memandang masyarakat sebagai ‘mass of group’ yang selalu berselisih satu sama lain. Karena kelompok-kelompok ini bersaing untuk memperoleh barang-barang dan sumber daya yang ada maka terjadilah perubahan-perubahan social. C. Pengertian kebudayaan Kebudayaan bisa diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku dan kepercayaan yang dipelajari yang merupakan ciri anggota suatu masyarakat tertentu. Kata kunci dari definisi di atas adalah di pelajari, yang membedakan antara kebudayaan dengan tindakan yang merupakan warisan biologis manusia. Kebudayaan dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang dapat mempengaruhi kehidupan yang damai dan tenteram, sejahtera dalam arti bahwa semua dapat hidup sehat diatas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik, ras dan jenis kelamin, tidak mencemari dan merusak lingkungan, yang secara demokratis menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan keinginannya oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan oleh R. Soekmono. kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar oleh Antropolog Koentjaraningrat. Secara etimologis akar mata kebudayaan ialah budaya kata ini berasal dari sansekerta budi yang dijamakan menjadi budaya. Kemudian di bentuk kata budidaya, artinya kekuatan budi jadi kebudayaan adalah apa saja yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Karena manusia tidak hanya bekerja dengan kekuatan budinya, tetapi juga dengan perasaan , fantasia atau imaginasi dan dengan kehendaknya; maka lebih lengkap jika kebudyaan diungkapkan sebagai hasil cita karsa dan rasa. Bangsa Romawi menyebut kebudayaan dengan cultura (latin) yang berasal dari kata kerja colere, artinya bercocock tanam, bertani. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan bermula dari lingkungan pertanian. Bangsa barat yang lain memakai kata cultura namun dengan ucapan yang sedikit berbeda : culture (Inggris), kultur (Jerman), kultuur (Belanda). Sesungguhnya terdapat banyak sekali (lebih dari 150) definisi kebudayaan yang telah dibuat oleh para ahli kebudayaan dan ahli sosiologi perbedaan definisi-definisi itu terletak pada lingkup pengertian kebudayaan yang hendak di cakup. Definisi yang lingkupnya luas mencakup juga jenis produk hasil kegiatan manusia yang sifatnya material yang dapat dihitung dalam bilangan statistik. Definisi yang dipakai sosiologi, seperti yang dirumuskan diatas, tidak memasukkan kategori hasil usaha manusia yang berupa (material culture ) karena sosiologi terutama mempelajari tingkah laku manusia yang kurang lebih teratur . aspek yang menarik bukan lah tindakan itu sendiri, melainkan sebab-sebab tindakan manusia dalam masyarakat itu menunnjukkan keteraturan tertentu yang kurang lebih sama dari waktu kewaktu, dari tempat yang satu ketempat yang lain: mengapa manusia tidak bertindak senaknya sendiri, tetapi mengindahkan patokan tertentu; mengapa ia seakan-akan terikat pada suatu pola kelakuan yang menjadi milik bersama dari masyarakat. Tindakan manusia adalah fakta yang dapat diamati dan dipelajari. Yang menarik untuk dibahas dalam sosiologi adalah produk cita rasa (kebudayaan) mana yang diinginkan sebagai pola kelakuan yang harus ditaati setiap warga masyarakat yang bersangkutan;apakah pola kelakuan itu merupakan potongan-potongan yang terpisah satu dan yang lain atau merupakan bagian dari satu system social yang bulat, satu jaringan yang kait-mengkait yang menguasai masyarakat seluruhnya. D. Hubungan antara perubahan social dan perubahan kebudayaan Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering mempersoalkan perbedaan antara perubahan-perubahan social dengan perubahan-perubahan kebudayaan. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas. Sudah barang tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi perubahan-perubahan dalam kebudayaan tidak perlu memengaruhi system social. Sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap kali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan social dan perubahan kebudayaan karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu masyarakat. Contoh: perubahan-perubahan dalam model pakaian dan kesenian dapat terjadi tanpa memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan atau system social.
»»  FULL READ....
A. Definisi Perubahan Sosial Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Supaya tidak timbul kekaburan, pembicaraan akan dibatasi lebih dahulu pada perubahan-perubahan sosial. Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai ,sikap-sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Banyak para sosiolog dan ahli-ahli lainnya yang mengemukakan tentang teori-teori perubahan social dan kebudayaan. Perbedaan-perbedaan cara pemahaman konsep perubahan social di atas sudah tentu akan berpengaruh pada kajian-kajian substansi perubahan social, terutama yang bersangkut paut dengan perbedaan dengan masalah-masalah berikut: (1) tingkat perubahan (makro-mikro); (2) kesinambungan (dan arah gerak perubahan dari mikro ke makro dan sebaliknya). B. Teori-teori perubahan social  Teori evolusioner social: masyarakat sebagai perkembangan dari bentuk yang sederhana menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Mereka percaya bahwa masyarakat-masyarakat yang berada pada tahap-tahap pembangunan yang lebih maju akan lebih progresif daripada masyarakat-masyarakat lainnya.  Teori siklus: (cyclical theories) teori ini berpendapat masyarakat itu berputar melewati tahap-tahap yang berbeda-beda, akan tetapi taha-tahap ini lebih bersifat berulang daripada bergerak seperti yang di utarakan oleh teori evolusioner.  Teori keseimbangan: menurut teori ini masyarakat terdiri dari sejumlah bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain, dimana masing-masing bagian-bagian ini membantu keefektifan masyarakat. Sehingga jika terjadi perubahan-perubahan social yang yang mengganggu salah satu dari bagian-bagian tersebut yang kemudian menggoyahkan masyarakat, maka akan ada perubahan-perubahan social tambahan yang akan terjadi dalam bidang-bidang lain masyarakat. Hal ini akan mengembalikan masyarakat ke dalam kedudukan yang harmonis dan timbullah keseimbangan.  Teori konflik: para sosiolog yang menganut teori konflik memandang masyarakat sebagai ‘mass of group’ yang selalu berselisih satu sama lain. Karena kelompok-kelompok ini bersaing untuk memperoleh barang-barang dan sumber daya yang ada maka terjadilah perubahan-perubahan social. C. Pengertian kebudayaan Kebudayaan bisa diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku dan kepercayaan yang dipelajari yang merupakan ciri anggota suatu masyarakat tertentu. Kata kunci dari definisi di atas adalah di pelajari, yang membedakan antara kebudayaan dengan tindakan yang merupakan warisan biologis manusia. Kebudayaan dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara yang dapat mempengaruhi kehidupan yang damai dan tenteram, sejahtera dalam arti bahwa semua dapat hidup sehat diatas garis kemiskinan, tidak membedakan suku, etnik, ras dan jenis kelamin, tidak mencemari dan merusak lingkungan, yang secara demokratis menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia, memberi kebebasan untuk beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan dapat menikmati pendidikan sesuai bakat dan keinginannya oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan oleh R. Soekmono. kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar oleh Antropolog Koentjaraningrat. Secara etimologis akar mata kebudayaan ialah budaya kata ini berasal dari sansekerta budi yang dijamakan menjadi budaya. Kemudian di bentuk kata budidaya, artinya kekuatan budi jadi kebudayaan adalah apa saja yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Karena manusia tidak hanya bekerja dengan kekuatan budinya, tetapi juga dengan perasaan , fantasia atau imaginasi dan dengan kehendaknya; maka lebih lengkap jika kebudyaan diungkapkan sebagai hasil cita karsa dan rasa. Bangsa Romawi menyebut kebudayaan dengan cultura (latin) yang berasal dari kata kerja colere, artinya bercocock tanam, bertani. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan bermula dari lingkungan pertanian. Bangsa barat yang lain memakai kata cultura namun dengan ucapan yang sedikit berbeda : culture (Inggris), kultur (Jerman), kultuur (Belanda). Sesungguhnya terdapat banyak sekali (lebih dari 150) definisi kebudayaan yang telah dibuat oleh para ahli kebudayaan dan ahli sosiologi perbedaan definisi-definisi itu terletak pada lingkup pengertian kebudayaan yang hendak di cakup. Definisi yang lingkupnya luas mencakup juga jenis produk hasil kegiatan manusia yang sifatnya material yang dapat dihitung dalam bilangan statistik. Definisi yang dipakai sosiologi, seperti yang dirumuskan diatas, tidak memasukkan kategori hasil usaha manusia yang berupa (material culture ) karena sosiologi terutama mempelajari tingkah laku manusia yang kurang lebih teratur . aspek yang menarik bukan lah tindakan itu sendiri, melainkan sebab-sebab tindakan manusia dalam masyarakat itu menunnjukkan keteraturan tertentu yang kurang lebih sama dari waktu kewaktu, dari tempat yang satu ketempat yang lain: mengapa manusia tidak bertindak senaknya sendiri, tetapi mengindahkan patokan tertentu; mengapa ia seakan-akan terikat pada suatu pola kelakuan yang menjadi milik bersama dari masyarakat. Tindakan manusia adalah fakta yang dapat diamati dan dipelajari. Yang menarik untuk dibahas dalam sosiologi adalah produk cita rasa (kebudayaan) mana yang diinginkan sebagai pola kelakuan yang harus ditaati setiap warga masyarakat yang bersangkutan;apakah pola kelakuan itu merupakan potongan-potongan yang terpisah satu dan yang lain atau merupakan bagian dari satu system social yang bulat, satu jaringan yang kait-mengkait yang menguasai masyarakat seluruhnya. D. Hubungan antara perubahan social dan perubahan kebudayaan Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering mempersoalkan perbedaan antara perubahan-perubahan social dengan perubahan-perubahan kebudayaan. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas. Sudah barang tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi perubahan-perubahan dalam kebudayaan tidak perlu memengaruhi system social. Sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap kali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan social dan perubahan kebudayaan karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu masyarakat. Contoh: perubahan-perubahan dalam model pakaian dan kesenian dapat terjadi tanpa memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan atau system social.
»»  FULL READ....

Sabtu, 09 April 2011

»»  FULL READ....

UUD tentang kasus pidana korupsi no 15 th 2002

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA http://www.bi.go.id/biweb/html/uu152002_id/index.html NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. Bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah Negara. 2. Bahwa asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut, disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian uang; 3. Bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga; 4. Bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral; 5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UU RI nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang • http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/25/prn,20040325-02,id.html UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah negara; Bahwa asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut, disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian uang; Bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga; Bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral; Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. 5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. 6. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. 7. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Pasal 2 Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. perbankan; g. narkotika; h. psikotropika; i. perdagangan budak, wanita, dan anak; j. perdagangan senjata gelap; k. penculikan; l. terorisme; m. pencurian; n. penggelapan; o. penipuan, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 4 (1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. (3) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. (4) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. Pasal 5 (1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah 1/3 (satu per tiga). (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi. Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 7 Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 8 Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 9 Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 10 PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 11 (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim. Pasal 12 Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan. BAB IV PELAPORAN Bagian Kesatu Kewajiban Melapor Pasal 13 (1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut: a. Transaksi Keuangan Mencurigakan; b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan. (3) Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan. (4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan. (5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK. (6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK. Pasal 14 Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank. Pasal 15 Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Pasal 16 (1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada PPATK. (3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan. (5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Bagian Kedua Identitas Nasabah Pasal 17 (1) Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan. (2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri sendiri atau untuk orang lain. (3) Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain tersebut. (4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang diminta dari pengguna jasa keuangan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan tersebut. BAB V PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN Pasal 18 (1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dengan Undang-undang ini dibentuk PPATK. (2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. (3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 19 (1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. (2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK di daerah. Pasal 20 (1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang wakil kepala. (2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan. (3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 21 Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau wakil kepala PPATK, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan; c. sehat jasmani dan rohani; d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik; e. memiliki salah satu keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, hukum, atau akuntansi; f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara. Pasal 22 (1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Ketua Mahkamah Agung. (2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi kepala/wakil kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku kepala/wakil kepala dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Pasal 23 Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK berakhir, karena yang bersangkutan: a. diberhentikan; b. meninggal dunia; c. mengundurkan diri; atau d. berakhir masa jabatannya. Pasal 24 (1) Kepala dan wakil kepala PPATK diberhentikan karena: a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia; b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik Indonesia; c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya; d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara yang lamanya 1 (satu) tahun atau lebih; e. dijatuhi pidana penjara; f. merangkap jabatan atau pekerjaan lain; g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau h. melanggar sumpah/janji jabatan. (2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul kepada Presiden agar kepala atau wakil kepala PPATK diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 25 (1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. (2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak setiap campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. (3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun internasional. Pasal 26 Dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut : a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini; b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini; e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan; h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan. Pasal 27 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai wewenang: a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum; c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; d. memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b. (2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan. (3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan Undang-undang lain yang berkaitan dengan ketentuan tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. (4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 28 (1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan. (2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada salah satu wakil kepala PPATK atau pihak lainnya yang khusus ditunjuk untuk itu. Pasal 29 (1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. (2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan melalui Sekretariat Negara. BAB VI PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 30 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Pasal 31 Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan petunjuk tersebut, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti. Pasal 32 (1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. (2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa; c. alasan pemblokiran; d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan e. tempat Harta Kekayaan berada. (3) Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima. (4) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. (5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan. (6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 33 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa. (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. (3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa; c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat Harta Kekayaan berada. (4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh: a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Pasal 34 Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum. Pasal 35 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 36 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa. (2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus. Pasal 37 Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara. Pasal 38 Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7. BAB VII PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI Pasal 39 (1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan. Pasal 40 (1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 41 (1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. (2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 42 (1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43 Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42. BAB VIII KERJA SAMA INTERNASIONAL Pasal 44 Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45 (1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan. (2) PPATK harus sudah melaksanakan fungsinya paling lambat 6 (enam) bulan setelah kepala dan wakil kepala PPATK ditetapkan. (3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sebagian tugas dan kewenangan PPATK khusus menyangkut Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia. (4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan mulai berlaku 18 (delapan belas) bulan setelah Undang-undang ini diundangkan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 April 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 April 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 30 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, ttd Edy Sudibyo Penjelasan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yang sangat besar jumlahnya. Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya Harta Kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar Harta Kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). Dengan cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral. Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa Pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun perbankan. Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang adalah dengan membentuk Undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku kejahatan tersebut. Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas : a.penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. b.transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut. c.menggunakan Harta Kekayaan (integration) yakni upaya menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Penyedia Jasa Keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Adapun yang dimaksud dengan : - bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan. - lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan. - efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal. - pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing. - dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun. - perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asuransi. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang disingkat dengan PPATK, yang bertugas: a.mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini; b.memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c.membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan; d.memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini; e.mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; f.memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; g.melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan; h.membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan. Di samping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa. Selain kekhususan di atas, Undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, maka Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perlu segera dibentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. II.Pasal Demi Pasal Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional” adalah pengurus yang menurut anggaran dasar korporasi berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang bersangkutan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Transaksi Keuangan Mencurigakan” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, dan transfer dana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, baik yang dilakukan dengan uang tunai maupun instrumen pembayaran yang lain, misalnya traveller cheque, cek, dan bilyet giro. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) - Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi penegak hukum melakukan pelacakan terhadap nasabah apabila di kemudian hari terdapat dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian uang. Selain itu, ketentuan tersebut juga sejalan dengan kesepakatan internasional yang menginginkan agar setiap negara memiliki ketentuan yang melarang pembukaan rekening tanpa identitas yang jelas dari nasabah. - Yang dimaksud dengan “identitas yang lengkap dan akurat” antara lain menyebutkan nama, alamat, jenis kelamin, umur, agama, dan pekerjaan. - Hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan dalam ketentuan ini termasuk pembukaan rekening, pengiriman dana melalui transfer, penguangan cek, pembelian traveller cheques, pembelian dan penjualan valuta asing, penitipan, dan penggunaan jasa keuangan lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” pada saat ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak mana pun. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Pemberhentian kepala atau wakil kepala PPATK yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia dimaksudkan agar tugas-tugas dari PPATK dapat dilaksanakan secara maksimal. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Tidak selayaknya bagi orang yang telah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana untuk melakukan tugas pemberantasan suatu tindak pidana. Huruf f Perangkapan jabatan atau pekerjaan dilarang untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan” adalah perbuatan atau tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelenggaraan kerja sama internasional dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur mengenai hubungan luar negeri dan mengenai perjanjian internasional. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan dimaksudkan agar segala sesuatu yang akan dilakukan oleh PPATK untuk setiap tahunnya dapat dilaksanakan sesuai dengan target yang ditentukan sehingga dapat dievaluasi mengenai keberhasilan atau kendala yang dihadapi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Pasal 36 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “PPATK” dalam ayat ini adalah kepala, wakil kepala, dan seluruh pegawai di lingkungan PPATK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Dilakukannya kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang karena Harta Kekayaan yang ditempatkan (placement), ditransfer (layering), atau yang diintegrasikan (integration) tidak tertutup kemungkinan peredaran Harta Kekayaan tersebut dari atau ke luar negeri sehingga dengan kerja sama ini diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan atau pemberantasan secara lebih efektif. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG KARANTINA IKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, http://www.indonesiabch.org/docs/pp15-2002.pdf Menimbang: a. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut perkarantinaan ikan, sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan hukum nasional dan internasional guna melindungi dan melestarikan sumber daya alam hayati ikan; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan untuk melaksanakan ketentuan Undangundang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Ikan; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 3. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KARANTINA IKAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan : 1. Karantina Ikan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari luar negeri dan dari suatu Area ke Area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia; 2. Hama dan Penyakit Ikan Karantina adalah semua hama dan penyakit ikan yang belum terdapat dan/atau telah terdapat hanya di Area tertentu di wilayah Negara Republik Indonesia yang dalam waktu relatif cepat dapat mewabah dan merugikan sosio ekonomi atau yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat; 3. Area adalah meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau, atau kelompok pulau di dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan penyakit ikan; 4. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I adalah semua Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang tidak dapat disucihamakan atau disembuhkan dari Media Pembawanya karena teknologi perlakuannya belum dikuasai; 5. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II adalah semua Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang dapat disucihamakan dan/atau disembuhkan dari Media Pembawanya karena teknologi perlakuannya sudah dikuasai; 6. Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang selanjutnya disebut Media Pembawa adalah ikan dan/atau Benda Lain yang dapat membawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina; 7. Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau mati, termasuk bagian-bagiannya; 8. Benda Lain adalah Media Pembawa selain ikan yang mempunyai potensi penyebaran Hama dan Penyakit Ikan Karantina; 9. Pemasukan adalah memasukkan Media Pembawa dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia; 10. Pengeluaran adalah mengeluarkan Media Pembawa dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar negeri atau dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia; 11. Tindakan Karantina Ikan yang selanjutnya disebut Tindakan Karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari luar negeri dan dari suatu Area ke Area lain di dalam negeri, atau keluarnya hama dan penyakit ikan dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia; 12. Pemeriksaan adalah tindakan untuk mengetahui kelengkapan dan keabsahan dokumen persyaratan serta untuk mendeteksi Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan/atau hama dan penyakit ikan; 13. Pengasingan adalah tindakan mengisolasi Media Pembawa yang diduga tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan/atau hama dan penyakit ikan di suatu tempat yang khusus, karena sifatnya memerlukan waktu yang lama untuk mendeteksinya dan agar tidak menyebarkan atau menularkan Hama dan Penyakit Ikan Karantina di lingkungan sekitarnya atau tempat tujuan; 14. Pengamatan adalah tindakan mendeteksi lebih lanjut terhadap Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan/atau hama dan penyakit ikan pada Media Pembawa yang diasingkan; 15. Perlakuan adalah tindakan membebaskan atau menyucihamakan Media Pembawa dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan/atau hama dan penyakit ikan; 16. Penahanan adalah tindakan menahan Media Pembawa yang akan dimasukkan ke dalam negeri atau suatu Area di dalam wilayah Negara Republik Indonesia; 17. Penolakan adalah tindakan tidak diijinkannya Media Pembawa dimasukkan atau dikeluarkan ke atau dari suatu Area atau dalam wilayah Negara Republik Indonesia; 18. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan Media Pembawa sebagai tindak lanjut dari Tindakan Karantina sebelumnya; 19. Pembebasan adalah tindakan mengijinkan Media Pembawa untuk dimasukkan atau dikeluarkan ke atau dari suatu Area atau dalam wilayah Negara Republik Indonesia melalui tempat-tempat pemasukan atau pengeluaran yang telah ditetapkan setelah dikenakan Tindakan Karantina sebelumnya; 20. Sertifikat Kesehatan adalah dokumen resmi yang ditandatangani oleh Petugas Karantina atau pejabat yang berwenang di Negara asal atau transit yang menyatakan bahwa Media Pembawa yang tercantum didalamnya tidak tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan/atau hama dan penyakit ikan yang disyaratkan; 21. Sertifikat Pelepasan adalah dokumen resmi yang ditandatangani oleh Petugas Karantina yang menyatakan bahwa Media Pembawa yang tercantum didalamnya tidak tertular atau bebas Hama dan Penyakit Ikan Karantina; 22. Instalasi Karantina Ikan yang selanjutnya disebut Instalasi Karantina adalah tempat beserta segala sarana dan fasilitas yang ada padanya yang digunakan untuk melaksanakan Tindakan Karantina; 23. Pemilik Media Pembawa adalah orang atau badan hukum yang memiliki Media Pembawa dan/atau yang bertanggung jawab atas pemasukan, pengeluaran atau transit Media Pembawa; 24. Alat angkut Media Pembawa adalah semua alat angkut dan sarana yang digunakan untuk melalulintaskan Media Pembawa hama dan penyakit ikan; 25. Penanggung Jawab Alat Angkut adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas kedatangan, keberangkatan atau transit alat angkut; 26. Kawasan Karantina Ikan yang selanjutnya disebut Kawasan Karantina adalah suatu kawasan atau daerah yang semula diketahui bebas dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina namun berdasarkan hasil pemantauan ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya serangan suatu Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang masih terbatas penyebarannya sehingga harus diisolasi dari kegiatan pemasukan atau pengeluaran Media Pembawa dari dan/atau ke dalam kawasan atau daerah tersebut untuk mencegah penyebarannya; 27. Transit Media Pembawa adalah singgah sementara dan diturunkannya dari alat angkut Media Pembawa di dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau di suatu Area di dalam wilayah Negara Republik Indonesia sebelum Media Pembawa tersebut sampai di Negara atau Area tujuan; 28. Transit Alat Angkut adalah singgah sementara alat angkut di dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau di suatu Area di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, sebelum alat angkut tersebut sampai ke Negara atau Area tujuan; 29. Petugas Karantina Ikan yang selanjutnya disebut Petugas Karantina adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan Tindakan Karantina berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang perkarantinaan ikan. BAB II PERSYARATAN KARANTINA Pasal 2 Setiap Media Pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib : a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di Negara asal dan Negara transit, kecuali Media Pembawa yang tergolong Benda Lain; b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; c. dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina di tempat pemasukan sebagaimana dimaksud dalam huruf b untuk keperluan Tindakan Karantina. Pasal 3 (1) Setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib : a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan yang diterbitkan oleh Petugas Karantina di tempat pengeluaran dan tempat transit, kecuali Media Pembawa yang tergolong Benda Lain; b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan; c. dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf b untuk keperluan Tindakan Karantina. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan terhadap setiap Media Pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu Area yang tidak bebas ke Area lain yang bebas dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina. (3) Penetapan Area sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Menteri berdasarkan hasil survei dan pemantauan daerah sebar serta dengan mempertimbangkan hasil analisis resiko Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Pasal 4 Setiap Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia wajib : a. dilengkapi Sertifikat Kesehatan yang diterbitkan oleh Petugas Karantina di tempat pengeluaran, apabila disyaratkan oleh Negara tujuan; b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan; c. dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina di tempat pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf b untuk keperluan Tindakan Karantina. Pasal 5 (1) Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, dalam hal tertentu Menteri dapat menetapkan kewajiban tambahan. (2) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa persyaratan teknis dan/atau manajemen penyakit. (3) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. BAB III TINDAKAN KARANTINA Bagian Pertama Umum Pasal 6 (1) Setiap Media Pembawa yang dimasukkan ke dalam, dibawa atau dikirim dari suatu Area ke Area lain atau transit di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan Tindakan Karantina. (2) Setiap Media Pembawa yang dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia melalui tempat pengeluaran yang ditetapkan, dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina serta dikenakan Tindakan Karantina apabila disyaratkan Negara tujuan. (3) Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. (4) Pelaksanaan Tindakan Karantina dilakukan Petugas Karantina di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar Instalasi Karantina yang ditetapkan. (5) Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat pula dilakukan di atas alat angkut. Bagian Kedua Pemasukan Media Pembawa Pasal 7 (1) Untuk setiap pemasukan Media Pembawa yang berupa : a. barang bawaan, pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media Pembawa beserta dokumen persyaratannya kepada Petugas Karantina pada saat tiba di tempat pemasukan; b. kiriman pos dalam bentuk bukan ikan hidup, pemilik wajib melaporkan kedatangan Media Pembawa paling lambat 5 (lima) hari setelah menerima pemberitahuan dari kantor pos, dan menyerahkan Media Pembawa beserta dokumen persyaratannya kepada Petugas Karantina pada saat menerima dari petugas pos; c. barang muatan dalam bentuk ikan hidup, pemilik wajib melaporkan paling lambat 2 (dua) hari sebelum kedatangan dan menyerahkan Media Pembawa beserta dokumen persyaratannya kepada Petugas Karantina pada saat tiba di tempat pemasukan; d. barang muatan dalam bentuk ikan mati, pemilik wajib melaporkan paling lambat 1 (satu) hari sebelum kedatangan dan menyerahkan Media Pembawa beserta dokumen persyaratannya kepada Petugas Karantina pada saat tiba di tempat pemasukan; e. benda Lain, pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media Pembawa kepada Petugas Karantina pada saat tiba di tempat pemasukan. (2) Ketentuan mengenai Media Pembawa yang berupa barang bawaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, jumlah dan jenis serta ukurannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 8 Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dipenuhi oleh pemilik Media Pembawa, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan Tindakan Karantina. Pasal 9 (1) Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diawali dengan tindakan pemeriksaan. (2) Tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen serta untuk mendeteksi Hama dan Penyakit Ikan Karantina. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan : a. setelah Media Pembawa diturunkan dari alat angkut; atau b. di atas alat angkut. (4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan secara koordinasi dengan instansi terkait. Pasal 10 (1) Pemeriksaan yang dilakukan setelah Media Pembawa diturunkan dari alat angkut yang tidak dilengkapi dengan Sertifikat Kesehatan dari Negara atau Area asal dan dokumen lain yang dipersyaratkan sebagai kewajiban tambahan, dilakukan penahanan paling lama 3 (tiga) hari. (2) Apabila dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan penolakan. (3) Apabila dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penolakan, Media Pembawa tersebut tidak dikirim kembali, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan. Pasal 11 Media Pembawa yang memenuhi persyaratan atau pemilik dapat melengkapi persyaratan dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Pasal 12 Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ternyata Media Pembawa tersebut : a. tidak tertular atau tidak ditemukan Hama dan Penyakit Ikan Karantina, maka Media Pembawa tersebut dibebaskan dengan pemberian sertifikat pelepasan; b. diduga tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan untuk mendeteksi lebih lanjut memerlukan waktu lama, serta sarana dan kondisi khusus, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pengasingan untuk diadakan pengamatan; c. ditemukan atau tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I atau rusak atau busuk atau merupakan Media Pembawa yang dilarang pemasukannya, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan; d. ditemukan atau tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut diberikan perlakuan. Pasal 13 (1) Apabila setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, ternyata Media Pembawa tersebut : a. ditemukan Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan; b. ditemukan Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut diberi perlakuan. (2) Apabila setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, ternyata: a. dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka Media Pembawa tersebut dibebaskan dengan diberikan sertifikat pelepasan. b. tidak dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan. Pasal 14 Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d ternyata Media Pembawa tersebut : a. dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka Media Pembawa tersebut dibebaskan dengan diberikan sertifikat pelepasan; b. tidak dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan. Pasal 15 (1) Pemeriksaan Media Pembawa di atas alat angkut yang tidak dilengkapi dengan Sertifikat Kesehatan dari Negara atau Area asal dan dokumen lain yang dipersyaratkan sebagai kewajiban tambahan, dilakukan penahanan paling lama 3 (tiga) hari. (2) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan penolakan. (3) Apabila dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penolakan, Media Pembawa tersebut tidak dikirim kembali, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan. Pasal 16 Media Pembawa yang memenuhi persyaratan atau pemilik dapat melengkapi persyaratan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Pasal 17 (1) Apabila pada saat dilakukan pemeriksaan Media Pembawa di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ternyata Media Pembawa tersebut : a. tidak tertular atau bebas dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina, yang dapat dideteksi di atas alat angkut, maka Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari alat angkut untuk dibebaskan dengan pemberian sertifikat pelepasan; b. tertular atau tidak bebas dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I yang dapat dideteksi di atas alat angkut atau busuk atau rusak atau merupakan Media Pembawa yang dilarang pemasukannya, maka Media Pembawa tersebut ditolak pemasukannya; c. tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II yang dapat dideteksi di atas alat angkut, maka Media Pembawa tersebut diberi perlakuan di atas alat angkut; d. tidak dapat dideteksi di atas alat angkut maka atas persetujuan Petugas Karantina Media Pembawa tersebut dapat diturunkan dari atas alat angkut untuk dilakukan pengasingan dan pengamatan. (2) Apabila Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan sudah diturunkan dari atas alat angkut tanpa persetujuan Petugas Karantina maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan. Pasal 18 Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c ternyata Media Pembawa tersebut : a. dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka Media Pembawa tersebut dibebaskan dengan diberikan sertifikat pelepasan; b. tidak dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan penolakan. Pasal 19 (1) Apabila setelah dilakukan pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d, ternyata Media Pembawa tersebut : a. tidak tertular atau bebas dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina, maka terhadap Media Pembawa tersebut diberikan sertifikat pelepasan; b. ditemukan Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan; c. ditemukan Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan perlakuan. (2) Apabila setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, ternyata Media Pembawa tersebut : a. dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dibebaskan dengan diberi sertifikat pelepasan; b. tidak dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemusnahan. Pasal 20 (1) Penanggung jawab alat angkut atau kuasanya wajib memberitahu-kan kedatangan alat angkutnya yang membawa Media Pembawa kepada Petugas Karantina di tempat pemasukan dengan ketentuan: a. untuk kapal laut, pemberitahuan kedatangan dilakukan di tempat-tempat pemasukan sebelum kedatangan kapal laut tersebut; b. untuk alat angkut darat dan pesawat udara, pemberitahuan kedatangan dilakukan pada saat alat angkut darat atau pesawat udara tersebut tiba di tempat pemasukan. (2) Setibanya alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di tempat pemasukan, penanggung jawab alat angkut atau kuasanya wajib menyampaikan daftar atau keterangan tentang muatan alat angkut serta dokumen atau keterangan lain yang dipandang perlu kepada Petugas Karantina di tempat pemasukan. Pasal 21 Terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, setelah tiba di tempat pemasukan, dilakukan pemeriksaan sepanjang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat bahwa alat angkut tersebut dapat menjadi sumber penyebaran Hama dan Penyakit Ikan Karantina, dengan ketentuan: a. untuk kapal laut, pemeriksaan dilakukan sebelum atau pada saat kapal tersebut merapat di dermaga; b. untuk pesawat udara dan alat angkut darat, pemeriksaan dilakukan pada saat kedatangan. Pasal 22 (1) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ditemukan atau diduga adanya Hama dan Penyakit Ikan Karantina, maka alat angkut tersebut diberi perlakuan. (2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21, muatan, kecuali orang, yang terdapat di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diperbolehkan untuk diturunkan dari alat angkut tersebut setelah terlebih dahulu diberi perlakuan. (3) Tindakan perlakuan terhadap orang dapat dilakukan di atas alat angkut atau setelah orang tersebut turun dari alat angkut. Pasal 23 (1) Setiap pemasukan Media Pembawa yang tidak diurus atau tidak diketahui pemiliknya dilakukan penahanan. (2) Terhadap Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa ikan hidup, ikan segar dan/atau ikan beku apabila dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penahanan tidak diurus atau diketahui pemiliknya maka dilakukan tindakan pemusnahan. (3) Kecuali Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak diurus atau diketahui pemiliknya maka dilakukan penolakan. (4) Apabila waktu 14 (empat belas) hari setelah dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Media Pembawa tersebut tidak dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia dilakukan pemusnahan. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tindakan Karantina untuk pemasukan Media Pembawa ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketiga Pengeluaran Media Pembawa Pasal 25 Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang berupa : a. barang bawaan, pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media Pembawa kepada Petugas Karantina di tempat pengeluaran paling lambat sebelum keberangkatan; b. barang muatan atau kiriman pos atau Benda Lain, pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media Pembawa kepada Petugas Karantina di tempat pengeluaran paling lambat 1 (satu) hari sebelum dilaksanakan Tindakan Karantina. Pasal 26 Media Pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar negeri yang berupa : a. barang bawaan, pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media Pembawa kepada Petugas Karantina di tempat pengeluaran paling lambat sebelum keberangkatan, dan dilakukan Tindakan Karantina apabila disyaratkan oleh Negara tujuan; b. barang muatan atau kiriman pos, pemilik wajib melaporkan dan menyerahkan Media Pembawa kepada Petugas Karantina di tempat pengeluaran paling lambat 1 (satu) hari sebelum dilaksanakan Tindakan Karantina sesuai yang disyaratkan oleh Negara tujuan. Pasal 27 Setelah Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 diserahkan kepada Petugas Karantina, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pemeriksaan. Pasal 28 Apabila setelah dilakukan pemeriksaan untuk Media Pembawa yang dikeluarkan dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, ternyata Media Pembawa tersebut : a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan tidak tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina, maka Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberikan Sertifikat Kesehatan; b. merupakan Media Pembawa yang dilarang pengeluarannya dari Area yang bersangkutan, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; c. tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I atau busuk atau rusak, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluar-annya; d. tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka Media Pembawa tersebut diberi perlakuan; e. merupakan Media Pembawa yang pengeluarannya memerlukan tindakan pengasingan dan pengamatan, maka Media Pembawa tersebut diasingkan untuk diamati. Pasal 29 Apabila setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e, ternyata Media Pembawa tersebut : a. tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; b. tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka Media Pembawa tersebut diberi perlakuan; c. tidak tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina, maka Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberikan Sertifikat Kesehatan. Pasal 30 Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d atau Pasal 29 huruf b, ternyata Media Pembawa tersebut : a. tidak dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; b. dapat disembuhkan atau disucihamakan dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberi Sertifikat Kesehatan. Pasal 31 Apabila setelah dilakukan pemeriksaan untuk Media Pembawa yang dikeluarkan dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia, ternyata Media Pembawa tersebut : a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan tidak tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberikan Sertifikat Kesehatan; b. merupakan Media Pembawa yang dilarang pemasukannya ke Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; c. busuk atau rusak, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; d. tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut diberi perlakuan; e. merupakan Media Pembawa yang pengeluarannya memerlukan tindakan pengasingan dan pengamatan, maka Media Pembawa tersebut diasingkan untuk diamati. Pasal 32 Apabila setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf e, ternyata Media Pembawa tersebut : a. tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut diberi perlakuan; b. tidak tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberikan Sertifikat Kesehatan. Pasal 33 Apabila setelah diberi perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf d atau Pasal 32 huruf a, ternyata Media Pembawa tersebut : a. tidak dapat disembuhkan atau disucihamakan dari hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; b. dapat disembuhkan atau disucihamakan dari hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka terhadap Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberi Sertifikat Kesehatan. Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tindakan Karantina untuk pengeluaran Media Pembawa ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Bagian Keempat Transit Pasal 35 (1) Untuk mencegah masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina melalui transit alat angkut dan Media Pembawa dari luar negeri atau dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, maka transit hanya dapat diperboleh-kan pada tempattempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan. (2) Setibanya alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di tempat pemasukan atau pengeluaran maka penanggung jawab atau kuasanya wajib melaporkan kedatangan alat angkut dan Media Pembawanya tersebut kepada Petugas Karantina setempat. (3) Selama transit, Media Pembawa harus selalu dalam pengawasan Petugas Karantina. Pasal 36 (1) Terhadap Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) harus dilengkapi dengan Sertifikat Kesehatan dari Area atau Negara asal. (2) Bagi Media Pembawa yang selama transit memerlukan penambah-an atau penggantian air atau oksigen dan/atau keperluan lain harus dilaporkan dan pelaksanaannya di bawah pengawasan Petugas Karantina setempat. (3) Bagi Media Pembawa yang selama transit dengan kemasan tetap tertutup atau tidak dilakukan penambahan, penggantian atau keperluan lain, dengan kondisi kemasan dalam keadaan baik dan utuh, tetap dalam pengawasan Petugas Karantina. (4) Pembungkus, peralatan dan air bekas yang digunakan selama transit harus diberi perlakuan atau dimusnahkan. Pasal 37 (1) Terhadap Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), ternyata diduga tertular Hama dan Penyakit Ikan Karantina atau rusak atau busuk, maka terhadap alat angkut tersebut diperintahkan untuk segera meninggalkan wilayah transit. (2) Paling lambat 2 (dua) hari setelah diperintahkan meninggalkan wilayah transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ternyata tidak/belum dilaksanakan maka Media Pembawa tersebut dimusnahkan. Pasal 38 Apabila Negara atau Area tujuan mensyaratkan diterbitkannya Sertifikat Kesehatan, maka Petugas Karantina di tempat transit berkewajiban melakukan Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 23. Pasal 39 Dalam hal alat angkut yang membawa Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) yang tidak dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap alat angkut diberlakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23 pada Bagian Kedua Bab ini. Pasal 40 (1) Bagi alat angkut yang melakukan transit di Negara atau Area yang sedang terjadi wabah penyakit ikan dikenakan Tindakan Karantina. (2) Transit Media Pembawa yang berasal dari Negara atau Area yang sedang terjadi wabah hanya berlaku transit alat angkut. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tindakan Karantina dalam hal transit diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kelima Alat Angkut yang Merapat atau Mendarat Darurat Pasal 42 (1) Jika kapal laut atau pesawat udara yang memuat Media Pembawa karena keadaan darurat merapat atau mendarat bukan di tempat-tempat yang ditetapkan sebagai tempat pemasukan atau pengeluaran, maka penanggung jawab kapal laut/pesawat udara atau kuasanya yang bersangkutan harus segera melaporkan hal tersebut kepada Petugas Karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran terdekat. (2) Kecuali karena alasan-alasan yang memaksa, Media Pembawa, peralatan, serta Benda Lain atau bahan lain yang terdapat dalam kapal laut atau pesawat udara tersebut dan berhubungan langsung dengan Media Pembawa tersebut di atas, dilarang dibongkar atau diturunkan dari alat angkut sebelum diperiksa dan diijinkan oleh Petugas Karantina. (3) Dalam hal kapal laut atau pesawat udara yang merapat atau mendarat darurat tidak dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap Media Pembawa yang diangkutnya diberlakukan ketentuan-ketentuan tentang pemasukan Media Pembawa sebagai-mana diatur pada Bagian Kedua Bab ini. (4) Apabila kapal laut atau pesawat udara yang mendarat darurat tersebut dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap Media Pembawa yang diangkutnya, dikenakan ketentuanketentuan tentang transit Media Pembawa sebagaimana diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 pada Bagian Keempat Bab ini. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tindakan Karantina terhadap alat angkut yang merapat atau mendarat darurat diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Keenam Tindakan Karantina di Luar Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Pasal 44 (1) Dalam keadaan tertentu, Tindakan Karantina dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan pengeluaran. (2) Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar Instalasi Karantina yang telah ditetapkan. (3) Dalam hal pelaksanaan Tindakan Karantina dilakukan di luar Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka tempat tersebut harus memenuhi syarat untuk digunakan sebagai tempat pelaksanaan Tindakan Karantina. Pasal 45 Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga pada Bab ini. Bagian Ketujuh Tindakan Karantina oleh Pihak Ketiga Pasal 46 (1) Tindakan Karantina tertentu dapat dilakukan oleh pihak ketiga atas persetujuan dan di bawah pengawasan Petugas Karantina; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tindakan Karantina oleh pihak ketiga diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedelapan Tindakan Karantina terhadap Media Pembawa Lain Pasal 47 (1) Media Pembawa lain berupa sampah, yang pernah berhubungan dengan ikan yang diturunkan dari alat angkut di tempat pemasukan atau tempat transit harus dimusnahkan oleh penanggung jawab alat angkut atau kuasanya di bawah pengawasan Petugas Karantina. (2) Pemusnahan Media Pembawa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di dalam wilayah tempat pemasukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan melalui koordinasi dan bantuan instansi terkait di tempat pemasukan. (4) Dalam hal Tindakan Karantina dilakukan di luar tempat pemasukan dan/atau pengeluaran dan masih terdapat Media Pembawa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemusnahan dilakukan di tempat Tindakan Karantina dilakukan. Bagian Kesembilan Tindakan Karantina terhadap Penolakan Negara Tujuan Pasal 48 (1) Pemasukan kembali Media Pembawa yang ditolak di luar negeri karena tidak memenuhi persyaratan karantina yang ditetapkan oleh Negara tujuan dan/atau alasan lain, dilakukan Tindakan Karantina sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan. (2) Pemasukan kembali Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disertai surat keterangan penolakan dari Negara tujuan. (3) Sertifikat Kesehatan yang menyertai Media Pembawa pada waktu pengeluaran dapat dipergunakan lagi sebagai persyaratan karantina. (4) Setelah dilakukan Tindakan Karantina sesuai dengan ketentuan pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka terhadap Media Pembawa tersebut apabila memenuhi persyaratan dapat dilakukan tindakan pelepasan. Pasal 49 (1) Pemasukan kembali Media Pembawa karena alasan tidak memenuhi persyaratan karantina pada waktu pengeluaran, maka terhadap Media Pembawa tersebut dimusnahkan di tempat pemasukan atau Instalasi Karantina. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan kembali Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri. Bagian Kesepuluh Barang Diplomatik Pasal 50 Tindakan Karantina terhadap barang diplomatik yang berupa Media Pembawa berlaku ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kesebelas Dokumen Tindakan Karantina Pasal 51 (1) Setiap Tindakan Karantina terhadap Media Pembawa wajib diterbitkan dokumen Tindakan Karantina. (2) Dokumen Tindakan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh Petugas Karantina di tempat pemasukan atau pengeluaran Media Pembawa. (3) Dokumen Tindakan Karantina yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib segera disampaikan kepada pemilik atau pihak yang berkepentingan. (4) Untuk menunjang kelancaran Media Pembawa di tempat pemasukan atau pengeluaran, dokumen Tindakan Karantina dapat disampaikan langsung oleh Petugas Karantina yang menerbitkan-nya atau melalui fasilitas elektronik kepada instansi lain yang memerlukan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Bentuk dan jenis serta tata cara penerbitan dokumen Tindakan Karantina diatur dengan Keputusan Menteri. BAB IV KAWASAN KARANTINA Pasal 52 Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk adanya suatu Hama dan Penyakit Ikan Karantina di suatu kawasan yang semula diketahui bebas dari Hama dan Penyakit Ikan Karantina, maka kawasan tersebut dinyatakan sebagai Kawasan Karantina. Pasal 53 (1) Menteri menetapkan dan mencabut Kawasan Karantina setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Daerah setempat. (2) Sambil menunggu penetapan Kawasan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Daerah setempat dapat melarang pemasukan atau pengeluaran Media Pembawa ke atau dari Kawasan Karantina dan memberantas Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang bersangkutan. Pasal 54 Dalam hal suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Karantina, maka : a. pencegahan penyebaran Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari Kawasan Karantina, menjadi wewenang dan tanggung jawab Menteri; b. pemberantasan Hama dan Penyakit Ikan Karantina di Kawasan Karantina, menjadi wewenang dan tanggung jawab Menteri; c. Gubernur setempat mengkoordinasikan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, kriteria dan tata cara penetapan dan pencabutan Kawasan Karantina diatur dengan Keputusan Menteri. BAB V JENIS HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA DAN MEDIA PEMBAWA Bagian Pertama Penetapan Hama dan Penyakit Ikan Karantina Pasal 56 (1) Jenis hama dan penyakit ikan dapat dibedakan dalam jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina dan jenis hama dan penyakit ikan bukan karantina. (2) Jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina berdasarkan tingkat bahayanya terhadap kelestarian sumber daya ikan, lingkungan dan kesehatan manusia dapat dibedakan menjadi : a. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan I; b. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan II. (3) Jenis-jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan daerah sebar serta Media Pembawa berdasarkan hasil pemetaan hama dan penyakit ikan ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedua Penetapan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina Pasal 57 Untuk mencegah masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina ke dan/atau di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, Menteri menetapkan jenis-jenis Media Pembawa yang dilarang untuk : a. dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia; b. dilalulintaskan dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Bagian Ketiga Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina Pasal 58 (1) Untuk mengetahui penyebaran jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina dilakukan pemantauan daerah sebar Hama dan Penyakit Ikan Karantina di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. (2) Kegiatan pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengikut-sertakan pihak-pihak terkait. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. BAB VI TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN Pasal 59 (1) Dalam menetapkan tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran Media Pembawa harus mempertimbangkan resiko masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina, status dan tingkat penyebaran Hama dan Penyakit Ikan Karantina, asas kelestarian sumber daya alam hayati ikan dan kelancaran serta perkembangan sistem transportasi perdagangan dan perekonomian. (2) Menteri menetapkan tempat pemasukan dan pengeluaran Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah berkoordinasi dengan menteri lain yang terkait. BAB VII PETUGAS DAN INSTALASI KARANTINA Bagian Pertama Petugas Karantina Pasal 60 (1) Pelaksanaan Tindakan Karantina dilakukan oleh Petugas Karantina. (2) Petugas Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pejabat fungsional Pengendali Hama dan Penyakit Ikan yang bekerja di Instalasi Karantina. Pasal 61 (1) Selain melakukan Tindakan Karantina, Petugas Karantina berwenang untuk : a. memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade, apron, ruang keberangkatan atau kedatangan penumpang atau tempat-tempat lain di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran untuk mengetahui ada atau tidaknya Media Pembawa yang akan dan sedang dilalulintaskan; b. membuka atau memerintahkan orang lain untuk membuka pembungkus, kemasan, atau paket Media Pembawa, peti kemas atau bagasi, palka untuk mengetahui ada atau tidaknya Media Pembawa yang akan dan sedang dilalulintaskan; c. melarang orang yang tidak berkepentingan untuk memasuki Instalasi Karantina, alat angkut atau tempat-tempat lain dimana sedang dilakukan Tindakan Karantina; d. melarang diturunkannya dari alat angkut atau dipindah-tempatkannya Media Pembawa yang sedang dalam pengawasan karantina; e. melarang orang membuang Media Pembawa, sampah, barang atau bahan yang dapat menyebarkan hama dan penyakit ikan di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran maupun di dalam perjalanan; f. memantau Hama dan Penyakit Ikan Karantina di Area pembudidayaan ikan, perairan umum, tempat penyimpanan, tempat penampungan dan tempat pemasaran Media Pembawa; g. mengambil contoh Media Pembawa yang akan dilalulintaskan dan melakukan kegiatan uji coba; dan/atau h. menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan Media Pembawa yang sedang dikenakan Tindakan Karantina. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Petugas Karantina melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Pasal 62 Penyidikan tindak pidana di bidang Karantina Ikan dapat dilakukan oleh Petugas Karantina yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Instalasi Karantina Pasal 63 (1) Untuk keperluan pelaksanaan Tindakan Karantina, Pemerintah membangun Instalasi Karantina di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran atau di tempat-tempat lain yang dipandang perlu. (2) Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan : a. sarana dan bahan pemeriksaan; b. sarana pengasingan dan pengamatan; c. sarana perlakuan; d. sarana penahanan; e. sarana pemusnahan; dan f. sarana pendukung lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 64 (1) Perorangan atau badan hukum dapat mendirikan Instalasi Karantina di luar tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Instalasi Karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. BAB VIII PUNGUTAN JASA KARANTINA Pasal 65 (1) Setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan jasa atau sarana yang disediakan oleh Pemerintah dalam pelaksanaan Tindakan Karantina dikenakan pungutan jasa karantina. (2) Pungutan jasa karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari : a. biaya penggunaan sarana pada Instalasi Karantina milik Pemerintah; b. biaya jasa pelaksanaan Tindakan Karantina. (3) Besarnya pungutan jasa karantina dan tata cara pemungutannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 66 Semua penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan harus disetor ke Kas Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak. BAB IX PEMBINAAN Pasal 67 (1) Menteri melakukan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam perkarantinaan ikan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, penyebarluasan informasi secara terencana dan berkelanjutan. (2) Dalam menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri dapat mengikutsertakan organisasi-organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya. BAB X KERJASAMA ANTAR NEGARA Pasal 68 (1) Menteri melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan Negara lain di bidang perkarantinaan ikan. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama bilateral, regional, dan/atau multilateral. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 69 Semua peraturan pelaksanaan di bidang Karantina Ikan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 70 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 April 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 April 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 36. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan PerUndang-undangan, Lambock V. Nahattands
»»  FULL READ....